#Opini
Oleh Najmah Jauhariyyah
(Komunitas Muslimah Raflesia Rindu
Khilafah)
Salah satu problem yang dialami
penduduk dunia saat ini adalah problem kemiskinan. Sistem kapitalisme telah menciptakan kesenjangan ekonomi
yang melahirkan kemiskinan
struktural. Dan korban paling banyak
adalah perempuan.
Serangan negara-negara kafir barat ke sejumlah negeri muslim seperti Suriah, Palestina dan Rohingya berefek semakin banyaknya perempuan dimiskinkan. Banyak perempuan di Ghouta yang makan sampah untuk menyambung hidup. Mereka mencuci ulang popok anak-anak mereka dengan air cucian yang sudah berkali-kali dipakai.
Serangan negara-negara kafir barat ke sejumlah negeri muslim seperti Suriah, Palestina dan Rohingya berefek semakin banyaknya perempuan dimiskinkan. Banyak perempuan di Ghouta yang makan sampah untuk menyambung hidup. Mereka mencuci ulang popok anak-anak mereka dengan air cucian yang sudah berkali-kali dipakai.
Nasib buruk juga dialami
perempuan-perempuan Indonesia. Karena kemiskinan, mereka rela pergi
meninggalkan anak dan suami untuk
menjadi tulang punggung keluarga.
Kehidupan mereka sebagai TKW di negeri orang tak jarang dibayangi mimpi
buruk pelecehan seksual dan penyiksaan.
Bengkulu sebagai provinsi termiskin di
Sumatera, secara langsung memberikan efek buruk bagi penurunan kesejahteraan
warganya. Tingginya tingkat kemiskinan di Bengkulu memberikan dampak yang
sangat luas dalam kehidupan hingga tingkat keluarga, terutama bagi kaum
perempuan. Ini terlihat dari banyaknya perempuan yang menjalani beban ganda
atau harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomis keluarga.Kebijakan
pemerintah daerah dalam penerbitan ijin zona pertambangan secara tidak langsung justru menimbulkan
wabah kemiskinan di Provinsi Bengkulu (http://pedomanbengkulu.com/2017/12/kemiskinan-mengorbankan-perempuan/).
Kemiskinan perempuan hari ini menjadi salah satu issu yang terus
digaung-gaungkan para aktivis perempuan. WALHI
Bengkulu yang turut ambil peran dalam
peringatan hari perempuan internasional menilai bahwa kemiskinan
perempuan disebabkan karena masih banyak perempuan yang belum mendapatkan
secara maksimal hak akses dan informasi terkait pengelolaan sumber daya alam di
Provinsi Bengkulu. Lebih dari itu menurut aktivis perempuan, kemiskinan
perempuan lebih banyak dipengaruhi
budaya patriarkhi. Perempuan kurang
diberikan hak sebagaimana laki-laki untuk memberdayakan dirinya secara ekonomi.
Oleh karena itu aktivis perempuan menganggap kesetaraan gender
adalah solusi dari kemiskinan
perempuan. Perempuan diberikan hak yang sama dengan laki-laki di
sektor publik. Jadilah banyak perempuan
yang terjun dalam pemberdayaan ekonomi perempuan. Kondisi
ini menyebabkan kaum perempuan bekerja membantu ekonomi keluarga. Namun alih-alih bisa mensejahterakan ekonomi dan membahagiakan keluarga.
Justru yang terjadi adalah eksploitasi perempuan. Di sisi
lain, ketika kaum perempuan bekerja secara massif di luar rumah, beban ganda menjadi
dilemma yang tak bisa terelakkan. Stress bisa datang sewaktu-waktu dan
seringkali menyebabkan konflik dalam keluarga. Itulah sebabnya kenapa
perceraian suami istri semakin meningkat yang saat ini penyebabnya didominasi
karena faktor ekonomi yaitu eksistensi perempuan di dunia kerja. Fakta yang tak bisa dibantah, munculnya kemandirian ekonomi perempuan
membuat mereka mudah menuntut perceraian. Kondisi
ini diperparah dengan hilangnya fungsi ibu sebagai pendidik
generasi. Dunia kerja yang ketat, membuat para ibu menghilangkan
“perasaan bersalah” meninggalkan kewajiban pengasuhan dan pendidikan anak
melalui tempat penitipan anak (day care). Kecenderungan meningkatnya tingkat kenakalan remaja
(narkoba, miras, pergaulan bebas, tawuran) disinyalir akibat perceraian.. Lalu
bagaimana mungkin perempuan bisa dikatakan sebagai tiang negara kalau kiprahnya
dalam ekonomi justru menyebabkan robohnya ketahanan keluarga dan hancurnya
generasi ??? Sudah selayaknya program
pemberdayaan ekonomi perempuan mendapat kecaman dan kritis pedas atas upaya
yang tidak akan pernah mengentaskan kemiskinan namun justru banyak menuai
kerusakan.
Pada faktanya persoalan
kemiskinan bukan hanya menimpa perempuan.
Siapa pun yang hidup dalam sistem kapitalisme akan merasakan kesulitan
hidup yang merata. Semua ini karena
sistem kapitalisme telah menganakemaskan para pemilik modal untuk bebas
menguasai hajat hidup rakyat banyak. Pada akhirnya rakyat dipaksa untuk membayar
harga yang tinggi untuk memperoleh akses
pelayanan ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Di sisi lain, kafir barat melalui
antek-anteknya dari kalangan penguasa, ulama su’ dan inteletual terus menerus
menggembosi rakyat dengan kriminalisasi ajaran Islam. Kampanye hitam tentang syariat Islam yang
mengatur perempuan terus menerus dilancarkan.
Teranyar adalah kriminalisasi cadar oleh rektor IAIN yang notabene pimpinan perguruan tinggi Islam. Padahal ajaran Islamlah yang sesungguhnya telah memuliakan sekaligus
mensejahterakan manusia tidak terkecuali
perempuan.
Melalui pemberlakuan sistem
ekonomi yang cemerlang, Kholifah Umar Bin Abdul Aziz telah berhasil
mengentas kemiskinan sehingga dalam waktu 2 tahun selama masa pemerintahannya,
tidak ada satupun rakyatnya menjadi penerima zakat. Kholifah Umar bin Khattab telah membantu seorang janda untuk lepas dari kemiskinan
dengan pemberian bahan makanan secara cuma-cuma. Tak hanya warga muslim yang menikmati
kesejahteraan namun juga warga non muslim. Sorang Yahudi tua peminta-minta pada masa
Kholifah Umar diberikan jaminan hidup
sepanjang hayatnya dari kas baitul maal.
Demikianlah penerapan syariat
Islam dalam sistem Khilafah telah berhasil mengeluarkan manusia yang hidup di dalamnya
dari kumparan kemiskinan. Sementara
program pemberdayaan ekonomi perempuan a la
feminis sama sekali tidak mensejahterakan perempuan malah menjatuhkan
perempuan dalam kumparan kerusakan.
#PerempuanMuliaDenganIslam
#PerempuanDanIslam
#SelamatkanPerempuanDenganKhilafah
#KhilafahAjaranIslam
#KhilafahSejarahKita
#BanggaBicaraKhilafah
#IslamRahmatanLilAalamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar