Sabtu, 16 Agustus 2014

Pseudo Kemerdekaan

Bulan Agustus tahun ini boleh dikatakan sebagai bulan sakral bagi rakyat Indonesia.   Mengapa demikian ?  Sebab di bulan ini rakyat Indonesia akan merayakan hari bersejarah yaitu hari kemerdekaan 17 Agustus 2014.  Sebagai the founding bangsa ini, selayaknya rakyat yang mayoritas muslim bersyukur bahwa perjuangan mereka membebaskan negeri ini dari penjajahan Belanda berbuah kenikmatan lepasnya bangsa ini  dari kezholiman  dan intimidasi bangsa lain. Bila Indonesia sudah lepas dari penjajahan fisik, justru Palestina, Suriah dan negeri-negeri muslim lain masih memperjuangkan lepasnya mereka dari penjajahan fisik. Namun di balik semua ini, terbetik  sebuah pertanyaan, apakah benar  bangsa Indonesia sudah  merdeka ? 

Menurut  Kamus Umum Bahasa Indonesia, merdeka berarti bebas (dari penghambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak bergantung pada sesuatu yang lain).  Lalu jika definisi di atas kita jadikan patokan, apakah bangsa ini sudah bebas dan berdiri di atas kaki sendiri ? Jika dinilai secara fisik, Indonesia memang sudah lepas dari penguasaan militer Belanda, namun secara pemikiran, budaya, tata nilai, aturan sampai gaya hidup seluruhnya masih membebek pada hukum positif Belanda yang saat ini bermetamorfosa menjadi penjajahan gaya baru bernama neolib, anak kandung sistem yang mempertuhankan materi alias kapitalisme. Sejatinya, rakyat Indonesia yang merdeka akan melepaskan penghambaannya terhadap hawa nafsu dan materi menuju penghambaan total  kepada kepada Allah SWT termasuk dalam hal pengelolaan negara. Oleh karena itu, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memiliki kedaulatan utuh atas wilayah sekaligus kekayaan alamnya dan mengelolanya secara mandiri demi  kesejahteraan rakyatnya.

 Namun kenyataan berbicara lain. Secara de facto, bangsa ini memang pemilik wilayah dan SDA yang melimpah. Tetapi secara de jure, penguasaan dan pengelolaannya diserahkan kepada para pemodal asing atas nama investasi dan swastanisasi.  Di Bengkulu saja, penguasaan 80 % perusahaan oleh pemodal asing menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang berujung pada meningkatnya jumlah penduduk miskin. Padahal Rosulullah bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Memperjualbelikannya adalah haram” (HR Abu Dawud).  Sungguh ironis, ketergantungan yang tinggi kepada asing membuat pemerintah sering membuat kebijakan yang pro asing tapi sangat merugikan dan menzhalimi rakyat. Sejak reformasi saja, ada lebih kurang 67 UU yang lebih berpihak kepada asing.  Atas nama UU pro asing, baru-baru ini pemerintah mewacanakan  pembatasan BBM jenis solar. Dapat dipastikan kebijakan ini membuat efek domino yang merugikan masyarakat yaitu tersendatnya pasokan listrik yang penting bagi kehidupan rakyat.

Jika melihat dari sisi SDM Indonesia, sekalipun sudah 69 tahun merdeka, generasi muda muslim banyak yang telah melupakan jasa-jasa generasi terdahulu yang mengorbankan nyawa demi mengusir penjajah. Jangankan meneladani, mengenang jasa-jasanya pun tidak.  Kehidupan hedonis barat yang serba permissif telah membius generasi muda muslim untuk tergila-gila dan mencontek habis semua yang berasal dari barat baik  fun, food maupun fashion.  Dengan prinsip kebebasan  (disertai klaim, bukankah kita sudah merdeka ?), mereka menganggap bukan hal yang tabu lagi untuk mempertontonkan seks bebas, tawuran dan narkoba.  Apalagi kebijakan terakhir Kemenkes RI tentang kampanye kondom untuk melawan wabah AIDS menjadi dalih bagi generasi muda untuk mengarusutamakan pergaulan bebas. Belum lagi baru-baru ini diluncurkan Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi yang sangat kental dengan motif liberal yaitu legalisasi aborsi. Persoalan semakin ruwet dengan dikampanyekannya kebebasan generasi muda  untuk hidup dalam komunitas LGBT (Lesbian,Gay,Biseksual,Transgender) yang dilindungi hak-haknya walaupun perilaku mereka sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sungguh tragis, kemerdekaan yang sudah susah payah dicapai generasi pendahulunya harus tergadaikan dengan kualitas generasi sekarang yang lemah akal dan lemah moral.  Lalu bagaimana generasi muda dikatakan sebagai penerus tongkat estafet kemerdekaan jika hidup mereka hanya untuk bersenang-senang dan enggan peduli dengan setumpuk persoalan bangsa ?

Makna kemerdekaan akan semakin dipertanyakan jika kita melongok kepada persoalan dunia pendidikan dan kesehatan yang menjadi hajat hidup orang banyak.   Kapitalisme dalam dunia pendidikan dan kesehatan menyebabkan keduanya  menjadi barang mahal yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.  Keadaan semakin diperparah dengan ulah kroni-kroni pejabat yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk memperkaya diri sendiri.   Sementara di ranah hukum, para hakim dan jaksa seolah tak punya nyali dan tak bertaring menghadapi mafia-mafia peradilan karena semuanya dengan mudah  bisa dibeli. Bagaimana pula dikatakan merdeka jika kaum minoritas bisa memaksakan kehendaknya  kepada kaum mayoritas muslim negeri ini untuk tidak bebas menjalankan ajaran agamanya seperti kasus pelarangan muslimah berjilbab yang baru-baru ini terjadi di Bali.

Inilah pseudo kemerdekaan (kemerdekaan semu) yang secara rutin hampir kita peringati setiap tahun dengan ajang perlombaan dan pendirian gapura di setiap sudut kampung. Merdeka dalam makna bebas secara fisik namun masih terjajah secara pemikiran dan gaya hidup.  Mensyukuri nikmat kemerdekaan fisik harus disempurnakan melalui perjuangan pembebasan Indonesia dari dominasi pemikiran dan aturan yang bukan berasal dari Allah SWT menuju kemerdekaan hakiki dalam pengabdian penuh kepada al Khaliq yang berwujud penerapan SyariahNya dalam seluruh aspek kehidupan.

Demikian pula halnya dengan Palestina, Irak, Suriah, Afganistan yang masih tertindas oleh penjajaha Israel dan Amerika.  Kemerdekaan hakiki bagi Palestina bukan diperoleh melalui “Two State Solutions”.  Namun didapatkan melalui persatuan umat dalam naungan Khilafah yang akan memobilisir tentara umat Islam sedunia demi membebaskan Palestina. Demikianlah kampanye global yang dilakukan Central Media Office Hizbut Tahrir Internasional dalam sebuah penyelenggaraan Konferensi Media Internasional dengan Tajuk “Gaza, Rather All of Palestine Seeks Victory From Muslim Armies” yang dipusatkan di Beirut Libanon.  Kampanye ini dilakukan secara massif di jejaring sosial menggunakan hastag #MuslimArmies4Gaza” dengan tujuan menyeru tentara umat Islam sedunia agar bergerak membebaskan Palestina demi mencapai kemerdekaan hakiki dan berperadaban mulia. 


Minggu, 10 Agustus 2014

Bahagia Dengan Cinta...(Catatan Buat Agen Misi)

Tentang judul postingan ini...sepertinya perlu bertanya dulu dengan diri sendiri..Sayakah orang yang bahagia ? Bahagiakah saya dengan kehidupan sekarang ini ? Kalau jawabannya iya..dan bahagia...berarti ucapan syukur pantas saya lontarkan kepada  Zat Yang Memberikan Kebahagiaan...

Namun jika saya tidak merasa bahagia dengan kehidupan yang saya jalani sekarang berarti saya patut melakukan muhasabah ulang : kenapa saya tidak bahagia, apa yang dapat  membuat saya bahagia dan bagaimana supaya saya menjadi bahagia...

Secara lahiri, sebenarnya mudah melihat seseorang itu bahagia atau tidak.....Seorang guru yang bahagia akan terlihat dari senyuman tulusnya tatkala menyambut anak didiknya saat tiba di sekolah...terlihat dari antusiasmenya dalam memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak didik...selalu ada kala anak didiknya butuh kehadirannya...Seorang guru yang bahagia tidak akan pernah membuat anak didiknya merasa sedih dengan perbuatan tercelanya..Seorang guru yang bahagia tidak akan memberikan contoh buruk bagi teladan anak didiknya.

Seorang dokter yang bahagia, sentuhan tangannya dan senyum manisnya sudah mampu mengobati sakit pasien walau resep belum sempat dituliskan...Bahkan semacam sugesti bagi pasien, jadi sembuh bila berobatnya ke sana..Dokter yang bahagia tidak akan pernah menjerumuskan pasiennya dalam kebohongan diagnosa dan pemberian obat-obatan yang merugikan kesehatan pasiennya..

Seorang anak yang berbahagia, akan terlihat dari tumbuh kembangnya yang  normal, bermain dan belajar dengan suasana gembira serta memiliki kepribadian yang  baik...Anak yang berbahagia tidak akan dilahirkan sia-sia..menjadi sampah jalanan bahkan bukan menjadi sesalan orangtuanya kenapa dia mesti dilahirkan...

Jika anda orang tua yang bahagia, tentu anda  bagaikan  rumah pelindung dan pengayom bagi anak-anak anda..berharap mereka menjadi penyejuk mata dalam doa-doa anda bahkan melapangkan jalan anda menuju surgaNya...Bukan orang tua yang adanya sama dengan tidak adanya...bukan orang tua yang hanya pintar memberikan perintah  namun minim keteladanan.. bukan  pula orang tua yang hanya sebatas penyemai bibit namun melupakan perawatan bagi bibit yang sudah ditanamnya...

Rasulullah menjalani semua kedudukan itu baik sebagai pemimpin,  pendidik,  dokter, orang tua bahkan anak yang berbahagia...walaupun beliau mengemban tugas utamanya sebagai penyampai risalah dari Tuhan, namun tugas maha berat  itu diembannya dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan walaupun kadangkala dijalani Beliau  dengan berlumuran keringat, darah dan air mata..sampai ajal menjelang..yang ada dalam fikiran beliau bukan anak, istri dan keluarganya namun hanya umatnya...ummatiy...ummatiy...Kekasih Allah itu  merasakan sakitnya sakaratul maut dengan penuh kebahagiaan  karena akan segera menjemput surga yang telah janjikan...

Demikianlah poros kehidupan..Rasulullah mengajarkan kehidupan sebagai hamba Allah dengan segala kedudukan, status maupun profesinya hanyalah sebagai sarana dunia untuk menuju kehidupan akhirat. Rasulullah mengajarkan bahwa misi utama hamba Allah di muka bumi ini adalah sebagai khalifatullah.

Berbicara  tentang Khalifatullah fil ardh jadi ingat buku "Misi di Sebuah Planet"  karangan Husain Matla. Buku yang tidak pernah bosan saya baca.  Kalau lagi galau pasti saya selalu upayakan membaca buku itu. Membaca ulang tulisan dibuku itu seperti merecharge kembali energi yang sempat habis karena  pahit getir kehidupan.

Balik lagi ke istilah Khalifatullah fil ardh..  Kalau diterjemahkan menurut buku ini, Khalifatullah bisa diartikan sebagai "agen perubahan" yang mengemban "misi"  dari "Sang Tuan" untuk mengerjakan "lahan" yang terbentang luas..Waduh kereen ya...

Apa hubungannya judul postingan saya dengan buku ini ?  Jelas ada hubungannya..Sebab untuk bisa meraih kebahagiaan hakiki, kita perlu tahu dulu posisi kita dalam kehidupan dunia ini.  Bahasa sederhananya mengetahui hakikat kehidupan diri.  Semuanya bermula dari  3 pertanyaan besar : Dari Mana, Mau Apa dan Hendak Kemana.

Saya yakin setiap muslim pasti tahu dari mana dia berasal.  Anak SD pun pasti tahu kalau yang menciptakan kita adalah Allah SWT.  Terurai satu masalah.  Namun tidak selalu terurai untuk masalah berikutnya, hendak apa kita..Masalahnya diantara kita ada yang status muslimnya bukan karena proses pencarian jati diri.  Lebih banyak menjadi muslim karena faktor keturunan.  Nah, disinilah persoalan dimulai..Tidak semua muslim tahu bahwa  dia punya sebuah misi "besar"  dari Sang "Tuan" untuk mengelola "lahan" yang luas sesuai dengan keinginan Sang "Tuan".  Dalam mengelola "lahan" yang diamanahkan  padanya, si "agen" memiliki SOP yang jelas dan tetap.   Sedikit dia melenceng dari SOP, bisa dipastikan  tugasnya menjadi berantakan..misinya akan mengalami kegagalan bahkan harus mulai dari awal lagi.  Tapi selesaikah misi itu hanya sampai "planet" ini ? Ternyata belum.. Suatu saat si "agen" harus siap untuk dipanggil Sang "Tuan" untuk mempertanggungjawabkan seluruh misinya. Kelak dia akan menerima imbalan terbaik dari Sang "Tuan" atas segala pengabdian.. Demikian kehidupan si "agen" yang berakhir dengan kebahagiaan selama-lamanya.

Tentu semua ingin bahwa si "agen" yang berbahagia itu adalah kita..Menjalani tugas sebagai  "agen" tentu bukan perkara mudah.  Banyak tantangan kehidupan yang berlika-liku.  Bisa jadi tantangan itu melenakan dan membuatnya terlupa dengan misinya. Tapi SOP yang ada dalam kalam cinta Sang "Tuan" dan nasehat berharga dari  "agen senior teladan"  selalu mengingatkannya untuk tetap berada pada jalurnya.  Kadang si "agen" harus siap  berkorban apapun demi misi yang diembannya untuk Sang "Tuan".  Untuk sebuah lahan subur penghasil tanaman dengan panen yang memuaskan.

Ketaatan si "agen" pada Sang "Tuan" bukan sekedar ketaatan semu  tanpa  makna.  Keta'atan itu  dibangun atas dasar cinta dan keikhlasan bukan karena keterpaksaan.  Karena cintanya pada Sang "Tuan", misi yang dijalankannya adalah misi yang terbaik, berkualitas  dan optimal.

Maka sangat tidak layak bagi seorang agen misi  hanya memberikan  waktu sisa bagi misinya, bermalas-malasan dalam mengemban misi, kadang menjalankan misi kadang tidak, terkesan asal-asalan dalam misinya bahkan jika  ada peluang dan kesempatan, dia akan melemparkan tanggung jawabnya kepada yang lain..Bahkan jika ada sedikit rintangan, agen misi ini akan gampang putus asa.

Misi terbesar umat Islam saat ini  adalah mengembalikan posisinya sebagai umat yang mulia..Jalan yang pernah dirintis oleh para agen misi teladan yaitu para Nabi dan Rasul.  Tak heran jika para Nabi dan Rasul menjadikan misi dakwah  sebagai poros kehidupan.  Bagaimana tidak, Nabi Nuh AS menjalankan misi dakwahnya selama 950 tahun siang dan malam.  Rasulullah  menjalankan misi kenabian dan kepemimpinannya selama kurang lebih 23 tahun tanpa istirahat.  Semua ini sekaligus menunjukkan betapa cinta dan ikhlasnya para agen misi teladan ini  menjalankan dakwahnya.  Jika tidak mana mungkin mereka mempertaruhkan usia, tenaga, pikiran, waktu, harta bahkan nyawa untuk misi dakwah mereka ?

Berkaca dari para agen misi yang berbahagia ini,  apapun profesi yang kita jalani saat ini,  bekerjalah  untuk sebuah misi besar ini dengan penuh rasa cinta...Peradaban besar dan  mulia yang akan  membawa kebahagiaan dunia akhirat hanya akan lahir di tangan para agen misi yang bekerja dengan ikhlas.  Para agen yang mempersembahkan misi terbaiknya di hadapan Sang "Tuan" Allah Rabbul 'Izzati...

















Pemuda Islam : Think About Palestine Not Valentine

Oleh Najmah Jauhariyyah (Pegiat Sosial Media Bengkulu) Manusia adalah makhluk yang mampu berfikir.  Dengan berfikir manusia menjadi makhlu...