Bulan
Agustus tahun ini boleh dikatakan sebagai bulan sakral bagi rakyat Indonesia. Mengapa demikian ? Sebab di bulan ini rakyat Indonesia akan merayakan
hari bersejarah yaitu hari kemerdekaan 17 Agustus 2014. Sebagai the
founding bangsa ini, selayaknya rakyat
yang mayoritas muslim bersyukur bahwa perjuangan mereka
membebaskan negeri ini dari penjajahan Belanda berbuah kenikmatan lepasnya
bangsa ini dari kezholiman dan intimidasi bangsa lain. Bila Indonesia sudah lepas dari penjajahan fisik,
justru Palestina, Suriah dan negeri-negeri muslim lain masih memperjuangkan
lepasnya mereka dari penjajahan fisik. Namun di balik semua
ini, terbetik sebuah pertanyaan, apakah
benar bangsa Indonesia sudah merdeka
?
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, merdeka berarti
bebas (dari penghambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri (tidak
terikat, tidak bergantung pada sesuatu yang lain). Lalu jika definisi di atas kita jadikan
patokan, apakah bangsa ini
sudah bebas dan berdiri di atas kaki sendiri ? Jika dinilai secara fisik, Indonesia memang sudah lepas
dari penguasaan militer Belanda, namun secara pemikiran, budaya, tata nilai, aturan
sampai gaya hidup seluruhnya masih membebek pada hukum positif Belanda yang
saat ini bermetamorfosa menjadi penjajahan gaya baru bernama neolib, anak
kandung sistem yang mempertuhankan materi alias kapitalisme. Sejatinya, rakyat Indonesia
yang merdeka akan melepaskan penghambaannya terhadap hawa nafsu dan materi
menuju penghambaan total kepada kepada
Allah SWT termasuk dalam hal pengelolaan negara. Oleh karena itu, bangsa yang
merdeka adalah bangsa yang memiliki kedaulatan utuh atas wilayah sekaligus
kekayaan alamnya dan mengelolanya secara mandiri demi kesejahteraan rakyatnya.
Namun kenyataan berbicara lain. Secara de facto, bangsa ini memang pemilik wilayah
dan SDA yang melimpah. Tetapi secara de
jure, penguasaan dan pengelolaannya diserahkan kepada para pemodal asing
atas nama investasi dan swastanisasi. Di
Bengkulu saja, penguasaan 80 % perusahaan oleh pemodal asing menyebabkan
kesenjangan sosial dan ekonomi yang berujung pada meningkatnya jumlah penduduk
miskin. Padahal Rosulullah bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga
hal: air, padang rumput, dan api. Memperjualbelikannya adalah haram” (HR Abu
Dawud). Sungguh ironis, ketergantungan
yang tinggi kepada asing membuat
pemerintah sering membuat kebijakan yang pro asing tapi sangat merugikan dan
menzhalimi rakyat. Sejak reformasi saja, ada lebih kurang 67 UU yang lebih
berpihak kepada asing. Atas nama UU pro
asing, baru-baru ini pemerintah mewacanakan
pembatasan BBM jenis solar. Dapat dipastikan kebijakan ini membuat efek
domino yang merugikan masyarakat yaitu tersendatnya pasokan listrik yang
penting bagi kehidupan rakyat.
Jika melihat dari sisi SDM Indonesia, sekalipun
sudah 69 tahun merdeka,
generasi muda muslim banyak yang telah melupakan jasa-jasa generasi terdahulu
yang mengorbankan nyawa demi mengusir penjajah. Jangankan meneladani, mengenang
jasa-jasanya pun tidak. Kehidupan
hedonis barat yang serba permissif telah membius generasi muda muslim untuk
tergila-gila dan mencontek habis semua yang berasal dari barat baik fun,
food maupun fashion. Dengan prinsip
kebebasan (disertai klaim, bukankah kita
sudah merdeka ?), mereka menganggap bukan hal yang tabu lagi untuk
mempertontonkan seks bebas, tawuran dan narkoba. Apalagi kebijakan terakhir Kemenkes RI
tentang kampanye kondom untuk melawan wabah AIDS menjadi dalih bagi generasi
muda untuk mengarusutamakan pergaulan bebas. Belum lagi baru-baru ini diluncurkan Peraturan Pemerintah No.61 tahun
2014 tentang kesehatan reproduksi yang sangat kental dengan motif liberal yaitu
legalisasi aborsi. Persoalan semakin ruwet dengan dikampanyekannya kebebasan
generasi muda untuk hidup dalam
komunitas LGBT (Lesbian,Gay,Biseksual,Transgender) yang dilindungi hak-haknya
walaupun perilaku mereka sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sungguh
tragis, kemerdekaan yang sudah susah payah dicapai generasi pendahulunya harus
tergadaikan dengan kualitas generasi sekarang yang lemah akal dan lemah
moral. Lalu bagaimana generasi muda
dikatakan sebagai penerus tongkat estafet kemerdekaan jika hidup mereka hanya
untuk bersenang-senang dan enggan peduli dengan setumpuk persoalan bangsa ?
Makna
kemerdekaan akan semakin dipertanyakan jika kita melongok kepada persoalan
dunia pendidikan dan kesehatan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Kapitalisme dalam dunia pendidikan dan
kesehatan menyebabkan keduanya menjadi
barang mahal yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Keadaan semakin diperparah dengan ulah
kroni-kroni pejabat yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk
memperkaya diri sendiri. Sementara di
ranah hukum, para hakim dan jaksa seolah tak punya nyali dan tak bertaring
menghadapi mafia-mafia peradilan karena semuanya dengan mudah bisa dibeli. Bagaimana pula dikatakan merdeka jika kaum minoritas bisa memaksakan
kehendaknya kepada kaum mayoritas muslim
negeri ini untuk tidak bebas menjalankan ajaran agamanya seperti kasus
pelarangan muslimah berjilbab yang baru-baru ini terjadi di Bali.
Inilah
pseudo kemerdekaan (kemerdekaan semu)
yang secara rutin hampir kita peringati setiap tahun dengan ajang perlombaan
dan pendirian gapura di setiap sudut kampung. Merdeka dalam makna bebas secara
fisik namun masih terjajah secara pemikiran dan gaya hidup. Mensyukuri
nikmat kemerdekaan fisik harus disempurnakan melalui perjuangan pembebasan
Indonesia dari dominasi pemikiran dan aturan yang bukan berasal dari Allah SWT
menuju kemerdekaan hakiki dalam pengabdian penuh kepada al Khaliq yang berwujud
penerapan SyariahNya dalam seluruh aspek kehidupan.
Demikian pula halnya dengan Palestina, Irak, Suriah,
Afganistan yang masih tertindas oleh penjajaha Israel dan Amerika. Kemerdekaan hakiki bagi Palestina bukan
diperoleh melalui “Two State Solutions”.
Namun didapatkan melalui persatuan umat dalam naungan Khilafah yang akan
memobilisir tentara umat Islam sedunia demi membebaskan Palestina. Demikianlah
kampanye global yang dilakukan Central Media Office Hizbut Tahrir Internasional
dalam sebuah penyelenggaraan Konferensi Media Internasional dengan Tajuk “Gaza,
Rather All of Palestine Seeks Victory From Muslim Armies” yang dipusatkan di
Beirut Libanon. Kampanye ini dilakukan
secara massif di jejaring sosial menggunakan hastag #MuslimArmies4Gaza” dengan
tujuan menyeru tentara umat Islam sedunia agar bergerak membebaskan Palestina
demi mencapai kemerdekaan hakiki dan berperadaban mulia.