Minggu, 30 Agustus 2015

Reportase Welpart Rujak Party #DPD 1 Muslimah_HTI_Bengkulu Chapter Kampus








Merajut Ukhuwah Islamiyah

Muslimah HTI Bengkulu Chapter Kampus menyelenggarakan "Welpart Rujak Party Maba (Mahasiswi Baru)”
Acara ini dihadiri sekitar 20 peserta dari kalangan mahasiswi. Adapun narasumber “Rujak Party kali ini adalah ustadzah Mesi Ramdayani (Aktivis DPD 1 MHTI Bengkulu) yang memaparkan materi tentangsegala sesuatu yang kita lakukan harus diniatkan semata-mata karena Allah, datang ke suatu majelis ilmu harus didasari keimanan kepada Allah bukan karena terpaksa apalagi karena figuritas seseorang. Hanya dorongan keimananlah kita bersilaturahmi walaupun belum saling mengenal sebelumnya, karena Allah SWT telah memerintahkan kita untuk saling menjalin ukhuwah islamiyah atas dasar aqidah, seperti dalam hadist “Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Allah kita satu, Nabi kita satu, Kitab kita satu, oleh karena itu dimanapun kaum muslimin itu berada, di negara manapun, selama mereka berakidah islam maka mereka tetap satu tubuh dengan kita, saudara seiman kita dan tidak ada sekat Nasionalisme.

Acara ini dilaksanakan pada hari Ahad, 30 Agustus 2015 bertempat di Halaman Rektorat Universitas Bengkulu, acara ini dilaksanakan untuk menyampaikan opini kepada mahasiswi  bagaimana seharusnya  menjalin ukhuwah islamiyah atas dasar keimanan kepada Allah SWT.. Peserta begitu semangat dan antusias dalam menyimak pemaparan materi serta semangat bertanya pada saat sesi tanya jawab dan fokus dalam mengikuti tahapan acara demi acara.

Reportase Silaturahmi Tim Media MHTI Bengkulu dengan Radio SEHATI 96,8 FM #DPD 1 Muslimah_HTI_Bengkulu








“Kerjasama dengan Radio Sehati FM”

Tim Media Muslimah HTI Bengkulu mengadakan "Silaturahmi ke Radio Sehati 96,8 FM”

Kegiatan Silaturahmi ini disambut hangat oleh crew Radio Sehati 96,8 FM. Kunjungan ini bermaksud untuk bersilaturahmi serta kerjasama antara MHTI dan Radio Sehati. Acara ini dilaksanakan pada hari Kamis, 27 Agustus 2015 bertempat di Ruangan Radio Sehati 96,8 FM Kampus STIKES TRI MANDIRI SAKTI Bengkulu, kegiatan ini dilaksanakan untuk menjalin ukhuwah serta kerjasama antara Tim Media MHTI Bengkulu dengan Radio Sehati 96,8 FM.

Kiat Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan



                                                                            

OPINI – Hal yang paling essensial dalam kehidupan manusia adalah kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan. Jika kebutuhan essensial ini mengalami krisis maka akan mempengaruhi kualitas suatu bangsa. Seperti saat ini Indonesia sedang menghadapi terpaan badai krisis ekonomi.
Anjloknya nilai rupiah diikuti oleh naiknya harga kebutuhan pokok khususnya pangan telah menyebabkan ketidakstabilan perekonomian negara.
Sejak menjelang Ramadhan lalu, masyarakat sudah dibuat resah dengan naiknya harga daging sapi diikuti dengan naiknya harga daging ayam. Sejumlah pakar seperti Prof Dr Ir Sugiyono, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), menilai permasalahan kenaikan harga ayam tidak melulu disebabkan jumlah permintaan konsumen yang melonjak pada saat Idul Fitri.
Menurutnya, kenaikan harga ayam adalah imbas dari meningkatnya harga daging yang disertai lemahnya daya beli masyarakat akibat inflasi. Selain itu, kenaikan harga ayam ini dipicu pula oleh tingginya harga pakan yang notabene merupakan komponen impor yang berasal dari perusahaan oligopoly raksasa.
Dalam menghadapi kenaikan harga daging ini, pemerintah bahkan berencana melakukan impor daging sapi dari sejumlah negara. Tentu saja solusi ini merugikan peternak lokal. Apalagi impor juga dilakukan untuk komoditas pangan yang lain seperti kedelai, jagung, beras bahkan garam pun diimpor walaupun negeri ini di kelilingi laut.
Tak hanya bidang peternakan, dunia pertanian pun tak luput dari krisis. Beberapa waktu yang lalu harga buah tomat anjlok sehingga merugikan petani. Untuk melampiaskan kekesalannya, banyak petani yang membuang tomat-tomat di jalanan.
Akibat gagal panen, petani cabe juga mengalami kerugian. Sementara itu, konsumen banyak mengeluh karena harga cabe melambung tinggi.
Krisis pangan yang menerpa Indonesia sudah berulang kali terjadi. Negara agraris yang mayoritas penduduknya hidup dari bercocok tanam dan memiliki lahan pertanian luas justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan.
Pakar pertanian menyebutkan bahwa masalah komoditi pangan utama masyarakat Indonesia adalah karena kelangkaan beras atau nasi.
Tentu saja krisis pangan ini berimbas dengan kondisi gizi rakyat Indonesia. Baru-baru ini diketahui ada ribuan balita di NTT yang mengalami gizi buruk. Puluhan balita bahkan meninggal.
Mahalnya harga beras membuat kebanyakan masyarakat miskin hanya bisa makan nasi aking. Bisa kita bayangkan berapa juta jiwa orang yang mengalami keadaan seperti itu jika data BPS tahun 2010 jumlah kemiskinan bertambah. Padahal Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam, bahkan batang saja jika di tanam akan tumbuh. Lalu ada apa di Indonesia ?
Di dalam UU No.18 tahun 2012 tentang pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau. Dan disebutkan pula dalam UU tersebut, ketahanan pangan akan ada dengan mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan keamanan pangan.
Walaupun UU tersebut menjamin ketahanan pangan Indonesia, ternyata kondisi pangan Indonesia masih diliputi berbagai persoalan. Diantaranya adalah iklim/cuaca seperti kemarau panjang yang membuat para petani gagal panen.
Di sejumlah daerah, lahan pertanian mulai digantikan oleh perumahan dan gedung. Disinyalir 52 % irigasi pertanian di Indonesia rusak parah. Distribusi pangan yang kurang lancar akibat sarana prasarana yang terbatas dan mahal ditambah lagi penimbunan barang yang dilakukan oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab.
Banyaknya pangan impor yang masuk ke Indonesia khususnya setelah Indonesia memberlakukan politik pintu terbuka yang ditandai dengan hadirnya MEA (Masyarakat Ekonomi Eropa). Ini adalah bentuk liberalisasi pangan yang memperparah krisis pangan Indonesia.
Apalagi kebijakan liberalisasi pangan di dukung oleh sejumlah UU pro kapitalis seperti UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 tentang perkebunan. Indikasi ini sudah cukup membuktikan bahwa negara sudah tidak serius bahkan abai dalam memenuhi kewajibannya terhadap rakyat atas hak pangan.
Sementara dalam Islam, negara dalam hal ini negara Khilafah punya kewajiban dan tanggung jawab besar untuk menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya. Negara Khilafah memberlakukan politik pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi.
Dalam pandangan Islam, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain.
Dengan demikian, kebijakan pangan Khilafah harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan, bukan semata-mata target produksi sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Oleh karenanya perhatian khilafah pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi.
Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Negara Khilafah memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu, sebagai hibah (hadiah) bukan sebagai hutang. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Maal (kas negara) kepada para petani di Irak, untuk membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa imbalan apapun.
Di samping itu, Negara harus melindungi air sebagai milik umum dan sebagai input produksi pertanian. Karenanya, air beserta sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi.
Islam telah memberikan contoh, bagaimana kesigapan negara dalam membantu rakyat yang kelaparan. Khalifah Umar bin Khaththab pernah mengambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal, lalu dipikulnya sendiri untuk diberikan pada keluarga yang sedang menghadapi kelaparan. Inilah wujud tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.
Itu hanyalah beberapa contoh politik pertanian yang pernah diterapkan oleh negara Khilafah. Masih banyak kebijakan pertanian Islam yang mumpuni sehingga di masa itu tak pernah kedengaran ada berita rakyatnya kelaparan atau kurang gizi.
Tak heran, selama berabad-abad lamanya negara ini menjadi negara adidaya yang tangguh dan rakyatnya hidup sejahtera. Oleh karena itu kami yakin hanya sistem politik pertanian yang dijalankan Khilafah yang mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis pangan dan menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan terdepan.(**)


Penulis : Indah Kartika Sari, SP
(Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)

Sabtu, 29 Agustus 2015

Reportase Kajian Cermin Wanita Shaliha (KCWS) # DPD 1 Muslimah_HTI_Bengkulu “Merajut Ukhuwah Islamiyah, Menggapai Kemerdekaan Hakiki”






Muslimah HTI Bengkulu menyelenggarakan "Kajian Cermin Wanita Shaliha “Merajut Ukhuwah Islamiyah, Menggapai Kemerdekaan Hakiki
Acara ini dihadiri sekitar 15 peserta dari kalangan mahasiswa, guru dan ibu-ibu majelis taklim. Adapun narasumber “KCWS” kali ini adalah ibu. Indah Kartikasari, SP (DPD 1 MHTI Bengkulu) yang memaparkan materi tentang " Merajut Ukhuwah Islamiyah, Menggapai Kemerdekaan Hakiki. ia menyampaikan bahwa Kaum muslimin itu bersaudara, seperti dalam hadist “Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Saat ini Masih banyak kaum Muslimin yang mudah tersinggung ketimbang berlapang dada, Kita masih banyak yang tak peduli dengan nasib saudaranya yang lain, Merasa ukhuwah hanya dengan satu komunitas saja. Bukan dengan komunitas kaum Muslimin yang lebih luas serta Tawuran antara pelajar Muslim masih kerap terjadi. Ukhuwwah Islamiyyah dibatasi sekat-sekat nasionalisme, seperti contoh Muslim Rohingya, Muslim Palestina, Muslim Suriah, Muslim Afrika, Muslim Uighur, Muslim Indonesia, padahal kita adalah satu, satu akidah, satu Nabi dan satu Kitab. Saat ini banyak yang Mengkampanyekan pentingnya ukhuwah, tapi  terkadang masih menjelekkan organisasi muslim yang lain dan perang dingin antar organisasi islam. Padahal seharusnya Berjuang bersama untuk memperkokoh barisan umat  Islam, Berani berkorban demi tegaknya Islam, bukan berani berkorban dan saling serang sesama umat Islam dan pejuang Islam,mari kita Munculkan persamaan, tenggelamkan perbedaan dan bukan menguasai atau mengalah, tapi saling berbagi. mari kita rawat ukhuwah dengan cara Saling menghargai, Saling percaya dan peduli, Saling menguatkan, Jangan ada benci di antara kita, Semaikan cinta dan saying, Bicarakan jika ada ‘gesekan’, Open mind (memiliki pikiran yang terbuka, Berbeda tapi tetap bersatu. itu semua akan dapat terwujud dengan Bersatunya Umat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah untuk meraih kemerdekaan hakiki.
Acara ini dilaksanakan pada hari Ahad, 23 Agustus 2015 bertempat di Sekretariat DPD I HTI Bengkulu, acara ini dilaksanakan untuk menyampaikan opini kepada masyarakat bagaimana kondisi dan fakta kerusakan ukhuwah saat ini dan yang harus kita lakukan dengan membina diri dengan tsaqofah islamiyah serta urgennya memperjuangkan syariah dan khilafah. Peserta begitu semangat dan antusias dalam menyimak pemaparan materi dan fokus dalam mengikuti tahapan acara demi acara.


Wallahualam.

Kamis, 13 Agustus 2015

ANTARA HARI KEMENANGAN DAN HARI KEMERDEKAAN







Bulan Juli dan Agustus tahun ini boleh dikatakan sebagai bulan sakral bagi umat Islam.   Mengapa demikian ?  Sebab di dua bulan ini umat Islam berturut-turut merayakan 2 hari bersejarah sekaligus yaitu hari kemenangan 1 Syawal 1436 H dan  hari kemerdekaan 17 Agustus 2015.   Datangnya hari kemenangan disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh umat Islam setelah sebulan lamanya berpuasa menahan hawa nafsu, lapar dan dahaga. Di sisi lain, hari kemerdekaan membuat  umat Islam bersyukur bahwa perjuangan mereka membebaskan negeri ini dari penjajahan Belanda berbuah kenikmatan lepasnya bangsa ini  dari kezholiman  dan intimidasi bangsa lain. Namun di balik semua ini, terbetik  sebuah pertanyaan, apakah benar bangsa ini khususnya umat Islam sudah  menang dan merdeka dalam arti yang sesungguhnya ?  

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, merdeka berarti bebas (dari penghambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak bergantung pada sesuatu yang lain).  Lalu jika definisi di atas kita jadikan patokan, apakah umat  Islam sudah bebas dan berdiri di atas kaki sendiri ? Umat Islam secara fisik memang sudah lepas dari penguasaan militer Belanda, namun secara pemikiran, budaya, tata nilai, aturan sampai gaya hidup seluruhnya masih membebek pada hukum positif Belanda yang saat ini bermetamorfosa menjadi penjajahan gaya baru bernama neolib, anak kandung sistem yang mempertuhankan materi alias kapitalisme. Sejatinya, umat Islam yang merdeka akan melepaskan penghambaannya terhadap hawa nafsu dan materi menuju penghambaan total  kepada kepada Allah SWT termasuk dalam hal pengelolaan negara. Oleh karena itu, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memiliki kedaulatan utuh atas wilayah sekaligus kekayaan alamnya dan mengelolanya secara mandiri demi  kesejahteraan rakyatnya.

 Namun kenyataan berbicara lain. Secara de facto, bangsa ini memang pemilik wilayah dan SDA yang melimpah. Tetapi secara de jure, penguasaan dan pengelolaannya diserahkan kepada para pemodal asing atas nama investasi dan swastanisasi.  Di Bengkulu saja di mana penulis berdomisili, penguasaan 80 % perusahaan tambang oleh pemodal asing menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang berujung pada meningkatnya jumlah penduduk miskin. Bahkan provinsi ini merupakan provinsi termiskin kedua setelah Provinsi NAD. Padahal Rosulullah bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Memperjualbelikannya adalah haram” HR Abu Dawud).  Sungguh ironis, ketergantungan yang tinggi kepada asing membuat pemerintah memperpanjang izin operasi PT Freeport Indonesia di wilayah tambang Papua selama 20 tahun. Padahal keberadaan  Freeport di Papua dianggap belum bisa menyejahterakan rakyat Papua. Gubernur Papua Lukas Enembe menyebut saat ini angka kemiskinan di Papua masih mencapai 31 persen dari total penduduk.

Sekalipun sudah 70 tahun merdeka, generasi muda muslim banyak yang telah melupakan jasa-jasa generasi terdahulu yang mengorbankan nyawa demi mengusir penjajah. Jangankan meneladani, mengenang jasa-jasanya pun tidak.  Kehidupan hedonis barat yang serba permissif telah membius generasi muda muslim untuk tergila-gila dan mencontek habis semua yang berasal dari barat baik  fun, food maupun fashion.  Dengan prinsip kebebasan  (disertai klaim, bukankah kita sudah merdeka ?), mereka menganggap bukan hal yang tabu lagi untuk mempertontonkan seks bebas, tawuran dan narkoba.  Apalagi kebijakan terakhir Kemenkes RI tentang kampanye kondom untuk melawan wabah AIDS menjadi dalih bagi generasi muda untuk mengarusutamakan pergaulan bebas. Belum lagi gaya hidup LGBT yang sudah tidak malu-malu lagi dilakoni oleh generasi muda. Sungguh tragis, kemerdekaan yang sudah susah payah dicapai generasi pendahulunya harus tergadaikan dengan kualitas generasi sekarang yang lemah akal dan lemah moral.  Lalu bagaimana generasi muda dikatakan sebagai penerus tongkat estafet kemerdekaan jika hidup mereka hanya untuk bersenang-senang dan enggan peduli dengan setumpuk persoalan bangsa ?

Makna kemerdekaan akan semakin dipertanyakan jika kita melongok kepada persoalan dunia pendidikan dan kesehatan yang menjadi hajat hidup orang banyak.   Kapitalisme dalam dunia pendidikan dan kesehatan menyebabkan keduanya  menjadi barang mahal yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.  Keadaan semakin diperparah dengan ulah kroni-kroni pejabat dan politisi yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk memperkaya diri sendiri.   Sementara di ranah hukum, para hakim dan jaksa seolah tak punya nyali dan tak bertaring menghadapi mafia-mafia peradilan karena semuanya dengan mudah  bisa dibeli.

Inilah pseudo kemerdekaan (kemerdekaan semu) yang secara rutin hampir kita peringati setiap tahun dengan ajang perlombaan dan pendirian gapura di setiap sudut kampung.  Sama halnya dengan hari kemenangan yang kerap kali kita rayakan dengan penuh sukacita, pakaian baru dan makanan serba enak. Sedangkan menurut ulama, “tidaklah hari raya itu bagi orang yang berpakaian baru, namun hari raya itu adalah bagi orang yang memiliki ketaqwaan baru.”   Jadi orang-orang yang benar-benar merayakan hari kemenangan adalah orang-orang yang berhasil melalui ujian atas kesabarannya mengendalikan diri menang melawan hawa nafsu demi meraih predikat taqwa.  Itupun tidak lantas membuat orang-orang ini merayakannya dengan suka cita dan kegembiraan.  Mengapa ? Sebab setelah Ramadhan semua keistimewaan dan keberkahan Ramadhan kembali menghilang, setan-setan kembali dilepas dari belenggunya, pintu-pintu surga ditutup, pintu-pintu neraka dibuka kembali. Itulah sebabnya kenapa Rasulullah dan sahabatnya menangis  pada saat Ramadhan pergi meninggalkan mereka. Sementara mereka bergembira dan bersuka cita ketika Ramadhan datang.  

Oleh karena itu, dipenghujung bulan Syawwal tahun ini, kita patut merenung sekaligus bercermin, apakah kita sudah siap untuk menjalani bulan-bulan berikutnya dengan sukses.  Sebab taqwa yang kita raih sebagai buah Ramadhan harus kita wujudkan baik  dalam diri, keluarga, masyarakat dan negara agar dapat meraih kemerdekaan hakiki untuk  terwujudnya umat terbaik yang membangun peradaban dunia. Dan tidaklah kemerdekaan dan kemenangan hakiki dapat kita raih kecuali dengan kembali tegaknya hukum-hukum Islam dalam naungan negara Khilafah. [Indah Kartika Sari, SP (Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Bengkulu)] [www.visimuslim.com]

Pemuda Islam : Think About Palestine Not Valentine

Oleh Najmah Jauhariyyah (Pegiat Sosial Media Bengkulu) Manusia adalah makhluk yang mampu berfikir.  Dengan berfikir manusia menjadi makhlu...