Rabu, 18 Februari 2015

MENGANGKAT EKSISTENSI PEREMPUAN LEWAT KONTES KECANTIKAN, PERLUKAH ?


OPINI



Oleh : Indah Kartika Sari

 (Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Bengkulu)


            Perbincangan tentang perempuan kembali menjadi topik hangat.  Apa lagi kalau bukan rencana akan digelarnya perhelatan kecantikan  perempuan yaitu ajang  Putri Indonesia 2015 pada hari Jumat (20 Februari 2015).  Sebelumnya sudah diselenggarakan event serupa yaitu Miss Indonesia 2015. Walau sudah  jelas, event ini mempertontonkan  kecantikan perempuan,  pihak penyelenggara mengklaim bahwa event  ini akan mengangkat potensi perempuan  secara utuh. Dalam arti perempuan yang ikut terlibat adalah mereka-mereka yang terpilih tidak hanya secara fisik cantik namun juga menonjol dari sisi  intelektual. Mereka diuji kepekaan sosialnya, diasah pemikiran  intelektualnya dan digali potensi keterampilannya.  Kontes ini memberikan kesan bahwa peserta tidak dilihat hanya sebagai objek tetapi merupakan bagian dari perempuan-perempuan cerdas dan kreatif yang mengedepankan personality yang utuh.  

            Tak dapat dipungkiri bahwa  eksistensi perempuan di ruang publik kembali dipertanyakan. Di satu sisi, perempuan merupakan asset berharga negara sebab di tangannya tiang negara ditegakkan.  Namun di sisi lain, kontes kecantikan yang kontroversial ini dijadikan alasan bagi sebagian orang untuk mengangkat eksistensi perempuan, benarkah demikian ??..

            Keinginan tampil cantik adalah hak fitrah seorang perempuan.  Sebab dengan cantik, perempuan akan dihargai (baca:dilirik) dan mendapat pujian dari khalayak ramai. Ada kecenderungan yang berkembang di masyarakat, tidak apa-apa IQ rendah yang penting cantik dan menarik. Singkatnya, kecantikan adalah jaminan mutu perempuan untuk bisa eksis di ruang publik demi ketenaran sekaligus bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah sebanyak mungkin. Untuk tampil cantik, banyak jurus jitu yang dilakukan perempuan. Permak wajah mulai dari yang tradisional hingga modern, dari yang alami sampai kimiawi.  Penampilan wajah yang cantik juga harus diimbangi dengan tubuh ideal. Demi mencapai tubuh  bak peragawati, sampai-sampai perempuan rela mengorbankan  kesehatannya dengan alasan diet ketat.

            Seakan  tak cukup sampai di sini, perempuan dan segala keindahan tubuhnya menjadi objek penilaian dari sekian banyak kontes kecantikan.  Jargon “Brain, Beauty, Behaviour” menjadi sekedar slogan sebab yang paling penting dari setiap kontes kecantikan hanyalah “Beauty, Beauty, Beauty”. Untuk perhelatan yang dilakukan dalam waktu singkat, tidak mungkin para juri menilai secara utuh kecerdasan dan kepribadian peserta. Tentu yang paling cepat untuk dinilai  adalah faktor fisik dan kecantikan. Diakui atau  tidak, berbagai ajang kecantikan sekalipun dengan bungkus Islami, pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu mencari perempuan tercantik dan stylist untuk kepentingan  bisnis besar perusahaan fashion, kosmetik dan entertainment.  Jadi tidak salah jika dikatakan bahwa berbagai macam kontes kecantikan itu sesungguhnya hanyalah ajang eksploitasi fisik/tubuh  perempuan bukan ajang eksistensi perempuan.  Sebab perempuan yang dieksploitasi tidak diperlakukan sebagai subjek tapi sebagai objek penilaian. Inilah yang menjadi dasar penolakan berbagai ajang kontes kecantikan  dari jamak ormas Islam di Indonesia.  Lebih dari  itu, berbagai kontes kecantikan merupakan pintu  masuk ekspansi budaya liberalisme.  Betapa tidak, perilaku hedonis dan gaya hidup serba bebas peserta kontes kecantikan  akan menjadi  minded  sekaligus  ancaman bagi kehancuran generasi.

            Hakekatnya eksistensi perempuan tidak dilihat dari kadar kecantikannya, tidak juga dilihat dari seberapa besar perempuan berkontribusi dalam menyumbang pundi-pundi rupiah dari eksplotasi keperempuanannya. Jaminan Allah dan RosulNya jelas yaitu perempuan akan eksis  dalam kancah kehidupan dalam kapasitasnya sebagai hamba yang bertaqwa dihadapan  Allah SWT.  Kecantikan hanyalah  sarana pemberian Allah yang seharusnya disyukuri.  Syukur bukan berarti bebas berhias dan mempertontonkan kecantikan itu kepada sembarang orang apalagi laki-laki non mahrom.  Syukur bukan  pula berarti menjadikan kecantikan sebagai sarana eksis di ruang publik tanpa batas demi keuntungan material dan popularitas.  Syukur adalah  jika perempuan  sadar diri bahwa kecantikan hakiki adalah  kecantikan dari dalam (inner beauty) yang  muncul dari hasil kepribadian taqwa kepada Allah Ta’ala.  Inner beauty tak perlu diraih lewat berbagai kontes kecantikan ataupun sekolah-sekolah  kepribadian.  Kepribadian taqwa yang melahirkan inner beauty hanya dapat diraih dengan mengasah  kecerdasan akal melalui transfer berbagai pemikiran yang dibangun dari aqidah Islam serta membina kepekaan qolbu dengan mengikatkan seluruh aktivitas dengan  syariat Allah.  Dengan akal yang cerdas, perempuan dapat eksis sebagai manusia unggulan yang mampu mensikapi persoalan kehidupan dengan sudut  pandang Islam.  Dengan hati yang tertata suci dalam kesholihan, perempuan dapat eksis sebagai hamba Allah dalam kapasitasnya sebagai anak bagi orangtuanya, istri bagi suaminya juga ibu bagi anak-anaknya.  Tak lupa dengan pengakuan syariat terhadap peran publiknya, perempuan dapat eksis sebagai mitra laki-laki bersama-sama berjuang mengembalikan kemuliaan Islam.

            Kemana lagi perempuan hendak bercermin kecuali dengan empat  tokoh  perempuan sejagat yang eksistensi dan perannyanya diakui Allah dan RosulNya. Dialah Khodijah istri Rosulullah, perempuan  cantik  dan kaya raya yang  rela  berkorban  harta. Dialah Asiah istri Fir’aun, perempuan  bangsawan dan rupawan yang rela berkorban nyawa.  Dialah Maryam, perempuan anggun  dan  tangguh  yang  ikhlas dengan  takdir  Tuhannya.  Dialah Fathimah,  perempuan cerdas yang menjadi   pendidik  generasi dan  manajer di  rumah tangganya.  Sosok-sosok perempuan langka itu hanya akan mungkin ada pada perempuan-perempuan  akhir  zaman yang hidup dalam  naungan system Islam dalam  bingkai daulah khilafah.






















WUJUDKAN GENERASI BERENCANA (GENRE) YANG SMART DAN BERTAQWA


OPINI
 Oleh
Indah Kartika Sari, SP
Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
DPD I  Bengkulu
Dalam minggu-minggu terakhir ini, ranah publik diramaikan oleh peredaran buku yang berjudul “Saatnya Aku Belajar Pacaran”.  Penulisnya adalah Toge Aprilianto. Ironisnya penulis adalah konsultan pendidikan. Buku ini menuai kecaman dari masyarakat. Pasalnya buku ini menyerukan remaja untuk berhubungan seks dengan pacarnya. Seruan dalam buku ini menambah daftar panjang seruan-seruan di negri ini ke arah membolehkan pergaulan bebas/free seks.  Ada yang terang-terangan seperti buku ini. Ada  juga yang samar seperti program pekan kondom.  Beberapa tahun sebelumnya juga diterbitkan buku yang mengandung pesan kampanye dan pembenaran gaya hidup lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).  Setiap bulan Februari, di kota-kota besar ramai  penjualan coklat yang berhadiah sekotak kondom di mall-mall dan supermarket.  Seruan -seruan ke arah pacaran bahkan pernah menyusup ke buku pelajaran sekolah  meski dengan tema pacaran sehat.  Seruan-seruan yang sama juga bertebaran di berbagai  sinetron remaja juga bertebaran di berbagai media  melalui internet dsb.

Seruan- seruan ke raha pergaulan bebas (free seks) ini memicu kenakalan remaja  yang pada akhirnya menambah  tingginya angka penderita HIV/AIDS.  Di Propinsi Bengkulu angka penderita HIV/AIDS sudah melebihi angka 500 orang.  Ditengarai, 60 % penyebab tingginya penderita HIV/AIDS di Bengkulu karena pergaulan bebas dan penggunaan narkoba di kalangan generasi muda.

Kenakalan remaja yang semakin merebak ini menunjukkan adanya ketidakberesan  pada mental generasi muda bangsa ini juga kesalahan pada sistem pendidikan kita. Akibat ketidakberesan mental dan bobroknya sistem pendidikan, bisa jadi para pelajar menganggap sekolah bukan lagi sebagai tempat belajar dan menuntut ilmu untuk meraih masa depan yang lebih  baik.  Dalam benak mereka, sekolah hanya sekedar tempat berkumpul dengan teman-temannya atau hanya sebatas tempat menghilangkan kepenatan di rumah. Tidak ada lagi sopan santun dan hormat kepada guru apalagi takut dengan peraturan sekolah.  Buktinya beberapa kasus kenakalan remaja justru terjadi di saat mereka masih mengenakan seragam sekolah. Melihat fenomena di atas, seberapa efektifkah  peran pendidikan  di sekolah dalam membentuk kepribadian anak didik ?

Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnya mampu menghasilkan anak didik yang berkepribadian baik sesuai Islam. Namun kenyataannya sistem pendidikan sekuler kapitalistik telah menyita sebagian besar waktu pelajar untuk lebih fokus pada target mengejar kurikulum dan penguasaan saintek.  Pada saat yang sama para pelajar secara sistematik telah mengabaikan pembentukan kepribadiannya. Apalagi pendidikan agama  di sekolah umum sangat minim hanya 2 jam pelajaran perminggu. Hasilnya, walaupun mereka bersekolah dan berprestasi akademik, tapi jiwa mereka kosong dari nilai-nilai spiritual.  Mental mereka lemah, gampang emosi, mudah depresi, cuek dengan lingkungan dan kehilangan rasa malu.  Peristiwa kesurupan massal yang banyak terjadi di sekolah-sekolah membuktikan kosongnya jiwa mereka dari nilai-nilai Ilahiyah.

Fakta deretan kasus kenakalan remaja mulai dari tawuran, narkoba, miras, geng motor hingga pergaulan bebas merupakan alasan kuat bahwa sekolah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan moral pelajar.  Dan kuat alasan pula bahwa sistem pendidikan saat ini telah gagal mewujudkan kesholihan pada anak didik.

Lalu tidakkah ada upaya pihak sekolah untuk memperbaiki semua ini ?  Sebab dengan semua kondisi ini sudah terbayang bagaimana nasib bangsa ini di kemudian hari.  Kehilangan generasi yang diharapkan sebagai pemimpin umat dan bangsa di masa depan.

Pihak sekolah yang menyadari minimnya pendidikan agama, mencari solusi melalui diselenggarakannya ekstrakulikuler kerohanian Islam (ROHIS).  Lembaga ROHIS ini diharapkan sekolah sebagai alternatif  terbaik bagi pelajar untuk mengenal ajaran Islam secara lengkap.  Pengenalan aqidah, ibadah, akhlak, pakaian dan muamalah termasuk pergaulan ditanamkan lewat program mentoring/pengajian.  Hasilnya cukup menggembirakan.  Para pelajar yang menjadi aktivis ROHIS umumnya adalah pelajar yang menyejukkan mata karena kesholihannya.  Namun ROHIS terlanjur dianggap tidak mewakili dunia remaja karena hanya membicarakan agama saja dan banyak peraturan yang dianggap mengekang. Akhirnya tidak banyak pelajar yang memilih ROHIS sebagai ekstrakurikuler pilihan.  Mereka lebih tertarik kepada ekskul yang dianggap mewakili dunia remaja seperti seni dan olahraga.  Ditambah lagi saat ini, media massa kerap kali memberitakan pencitraan negatif terhadap ROHIS karena dianggap sebagai basis kaderisasi calon teroris. Sebuah upaya yang mengada-ada untuk menjatuhkan citra ROHIS. Alhasil banyak orang tua yang lebih khawatir anaknya aktif di ROHIS daripada aktif di ekskul selain ROHIS.  Walaupun mereka sebenarnya tahu bahwa ROHIS tidak mungkin mengajarkan kekerasan  dan melakukan kegiatan-kegiatan negatif.  Namun itulah opini media yang mampu membalik kenyataan sesungguhnya.

Di tengah-tengah ketidakmampuan sistem pendidikan dan sekolah dalam melahirkan generasi berkualitas, slogan GENRE (Generasi Berencana) yang gencar dikampanyekan ibarat secercah harapan.  GENRE tentunya adalah  sosok generasi dengan identitas yang khas, generasi bervisi masa depan, generasi calon pemimpin yang peduli dengan permasalahan umat dan bangsa ini.  GENRE bukanlah generasi yang mementingkan diri sendiri dengan menenggelamkan dirinya pada kehidupan hedonis kapitalistik.  GENRE mutlak diperlukan di tengah carut marut situasi negeri ini.

Membentuk generasi calon pemimpin dan bervisi masa depan bukan pekerjaan mudah. Namun bukan pula hal yang tidak bisa direalisasikan. Untuk mewujudkan generasi berkualitas pada dasarnya ditempuh lewat pendidikan dan pembinaan sepanjang hayat mulai dalam  kandungan hingga liang kubur.  Dasar-dasar pembinaan aqidah, akhlaq dan keteladanan diperoleh seorang anak pertama kali dari lingkungan keluarga khususnya ibu sebagai pendidik pertama dan utama.  Ketika anak menjelang dewasa, anak bersekolah dan berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu penting sekali memperhatikan sistem tempat dimana anak bersekolah dan  berinteraksi dengan  lingkungan.  Jika sistem yang melingkupi sekolah dan lingkungan anak buruk, sudah tentu akan berpengaruh pada  proses pembinaan anak.  Negara memiliki peran penting dalam menciptakan sistem yang kondusif bagi pembinaan dan pendidikan anak.   Negaralah yang mengatur kurikulum yang menjamin kualitas anak didik yang mumpuni dari sisi kepribadian dan penguasaan saintek.  Negara pulalah yang akan mereserve sekaligus menindak secara tegas  hal-hal yang bisa merusak generasi terutama pengaruh buruk media.  Semua itu hanya bisa diraih jika semua sistem kehidupan khususnya pendidikan dijalankan sepenuhnya oleh Sistem Khilafah. Hanya sistem inilah yang mampu melahirkan generasi bervisi/berencana yang smart sekaligus bertaqwa.



Pemuda Islam : Think About Palestine Not Valentine

Oleh Najmah Jauhariyyah (Pegiat Sosial Media Bengkulu) Manusia adalah makhluk yang mampu berfikir.  Dengan berfikir manusia menjadi makhlu...