Di tahun
2015, negara-negara di kawasan ASEAN akan menjadi sebuah negara besar
bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA bertujuan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan
basis produksi dengan ciri adanya aliran bebas barang, jasa dan tenaga kerja
terlatih, modal serta aliran investasi yang lebih bebas. Oleh karena itu setiap barang impor yang
masuk tidak akan dikenakan biaya
tambahan. Setiap penduduk di kawasan ASEAN akan bebas berpergian dari satu
negara ke negara lain. Baik untuk bekerja, menjual atau membeli sebuah produk. Sementara
itu, perusahaan akan bebas memilih lokasi pendirian pabrik dan kantor
perusahaan di kawasan ASEAN.
Sebagian besar kalangan menilai bahwa MEA dapat membawa
dampak buruk bagi Indonesia. Adanya
peleburan negara-negara ASEAN dengan nama
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEA) selain dapat membentuk budaya “baru” di
masyarakat yang lebih liberal juga melemahkan ketahanan ekonomi Indonesia.
Meskipun MEA pada
awalnya lebih ditujukan untuk mendorong negara-negara di kawasan ASEAN
melakukan usaha kerjasama di bidang ekonomi dan kesejahteraan, namun dalam
perkembangannya, dinamika kerjasama kawasan ini tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh arus besar globalisasi yaitu menuju pasar bebas dunia. Lahirnya MEA
menjadi cermin bagaimana kuatnya arus globalisasi ekonomi yang lahir dari paham
neoliberalisme negara-negara kapitalis barat.
Indonesia
merupakan negara yang menjadi sasaran pasar bebas dunia 2015. Secara ekonomi, Indonesia
memiliki potensi yang luar biasa sebagaimana tertuang dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI). Indonesia adalah negara dengan
jumlah penduduk ke-4 terbesar di dunia. Indonesia juga negara yang kaya dengan potensi sumber daya alam. Sampai tahun 2010
Indonesia masih menjadi salah satu produsen besar di dunia untuk berbagai
komoditas, antara lain sawit, kakao, timah, nikel, bauksit, besi baja, tembaga,
karet juga perikanan. Indonesia juga
memiliki cadangan energi yang sangat bermanfaat seperti batubara, panas bumi,
gas alam dan air yang sebagian besar dimanfaatkan untuk mendukung industri
andalan seperti tekstil, perkapalan, peralatan transportasi dan
makanan-minuman. Selain potensi ekonomi, Indonesia juga memilliki potensi
penduduk yang luar biasa, salah satunya adalah kaum perempuan. Untuk perusahaan
besar ada tiga hal yang mereka cari bahan baku murah, pekerja murah dan pasar
produk yang luas. Indonesia memiliki ketiganya.
Bagi negara-negara kapitalis barat, Indonesia bagaikan “surga”. Tak
hanya menguntungkan secara bisnis namun juga sebagai sarana melanggengkan hegemoni
ideology kapitalisme demi memperkuat eksistensinya di kancah perpolitikan
internasional.
Jika benar-benar MEA terjadi pada tahun 2015 maka akan
terjadi kegoncangan ekonomi Indonesia. Ketika seluruh produk bebas bersaing,
maka produk yang bisa bertahan hanyalah produk yang dimiliki oleh
perusahan-perusahaan besar. Secara teknologi dan modal, mereka sudah besar dan
mapan. Berbeda dengan skala home industry.
Secara teknologi masih sederhana dan secara permodalan masih pas-pasan. Tentu
secara mutu pun tidak bisa bersaing. Belum
lagi ditambah berbagai kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada UKM.
Yang patut dikritisi adalah perhatian pemerintah agar perempuan lebih berdaya guna di sektor usaha sebagai persiapan menghadapi
MEA 2015. Perempuan-perempuan
didorong untuk terjun ke dunia kerja
atas nama pemberdayaan ekonomi perempuan. Apalagi di era pasar bebas,
persaingan semakin ketat. Para laki-laki
yang menjadi tulang punggung keluarga akan semakin kesulitan mencari pekerjaan. Kondisi ini menyebabkan kaum perempuan bekerja membantu
ekonomi keluarga. Ironisnya, bukannya kesejahteraan yang mereka dapatkan.
Justru yang terjadi adalah eksploitasi perempuan. Di sisi lain, ketika kaum
perempuan bekerja secara massif di luar rumah, beban ganda menjadi dilemma yang
tak bisa terelakkan. Stress bisa datang sewaktu-waktu dan seringkali
menyebabkan konflik dalam keluarga. Itulah sebabnya kenapa perceraian suami
istri semakin meningkat yang saat ini penyebabnya didominasi karena faktor
ekonomi yaitu eksistensi perempuan di dunia kerja. Kondisi ini diperparah
dengan hilangnya fungsi ibu sebagai pendidik generasi. Dunia kerja yang ketat, membuat para ibu
menghilangkan “perasaan bersalah” meninggalkan kewajiban pengasuhan dan
pendidikan anak melalui tempat penitipan anak (day care). Peran ibu sebagai
pendidik generasi di era pasar bebas
akan hilang tergantikan oleh
konsep pendidikan dari lingkungan bercorak liberalistik atas nama era
globalisasi. Budaya luar yang masuk dengan deras sebagai efek dari pasar bebas akan membuat
persoalan degradasi moral di kalangan remaja semakin meningkat.
Pasar bebas pada faktanya merupakan alat bagi negara-negara
kapitalis barat untuk mencengkeram dan
mengontrol perekonomian negeri-negeri dunia ketiga (baca:Islam). Akibat berbahaya dari pasar bebas adalah dampak sosial
yang bermuara tidak hanya pada kehancuran keluarga namun juga kehancuran
generasi. Oleh karena itu Islam mengharamkan
konsep pasar bebas yang diusung negara-negara kapitalis barat. Di samping
secara faktual merugikan, sejatinya kebijakan tersebut merupakan implementasi
dari konsep kebebasan kepemilikan dari ideologi kapitalis yakni bebas untuk
memiliki dan menguasai berbagai jenis komoditi. Sementara dalam Islam konsep
kepemilikan diatur dengan jelas yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum
dan kepemilikan negara. Kepemilikan negara adalah harta yang dimiliki seluruh
kaum muslimin dan dikelola penuh oleh negara Khilafah.
Dengan menerapkan sistem ekonomi
Islam dalam negara Khilafah, niscaya ketahanan ekonomi akan diraih serta
jaminan kesejahteraan akan melingkupi semua keluarga. Keluarga yang sejahtera dan bahagia merupakan
jaminan terwujudnya generasi berkualitas berkarakter pemimpin yang akan
menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang berperadaban, kuat, maju dan
terdepan.