Oleh
Indah
Kartika Sari, SP
Ketua Dewan Pimpinan Daerah I Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia-Bengkulu
“Kami Cinta Batik Besurek…” Demikian kalimat yang tertulis di
spanduk yang bertebaran di sepanjang jalan protokol di kota
Bengkulu. Kampanye penggunaan kain batik
besurek memang lagi digencarkan seiring dengan program pemerintah agar rakyat
Indonesia memakai produk buatan dalam
negeri. Program ini memang
dibuat oleh pemerintah seiring dengan semakin dekatnya pelaksanaan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan
segera launching pada 31 Desember 2015
mendatang. Batik kebanggaan warga Kota Bengkulu itu memang terkenal dengan motif
yang unik. Disebut besurek atau bersurat karena kain ini bertuliskan
huruf-huruf Arab. Konon, batik besurek diperkenalkan para pedagang Arab dan
pekerja asal India pada abad XVII. Dahulu
kala di beberapa kain, terutama untuk upacara adat, kain ini memang bertuliskan
huruf Arab yang bisa dibaca. Tetapi, untuk sekarang ini sebagian besar hanya
berupa hiasan mirip huruf Arab.
Kain besurek sekarang sudah berbeda dengan kain besurek
asli seperti yang dibuat ratusan tahun lalu. Para perajin sudah memadukan
besurek yang aslinya hanya bermotif huruf arab dicampur dengan motif bunga
Raflesia Arnoldy, bunga khas Bengkulu. Hal itu dilakukan untuk lebih
memasyarakatkan kain besurek. Selain itu, dengan mendobrak tradisi lama
diharapkan hasil kerajinan rakyat ini menjadi semakin populer dan dipakai tidak
hanya untuk keperluan adat.
Usaha untuk melestarikan kain besurek saat ini menghadapi
tantangan yang cukup berat. Menurut sejumlah perajin tradisional kain besurek,
mereka saat ini sudah mulai terdesak oleh batik cetak yang memakai motif kain
besurek. Padahal, pemda setempat sudah mewajibkan murid–murid sekolah pada hari
tertentu untuk berseragam kain besurek. Bahkan, kurikulum di sekolah untuk
muatan lokal adalah kerajinan batik kain besurek.
Proyek seragam dinas pegawai pemerintah daerah dan
seragam murid sekolah ini sedikit pun tidak menguntungkan para perajin. Menurut
Sekretaris Koperasi Perajin Kain Besurek (Kopinkra) Bengkulu, anggota Kopinkra
yang tersebar di Kota Bengkulu saat ini hanya tinggal sekitar 10 perajin.
Kondisi mereka juga sudah mulai kembang kempis akibat tidak mampu bersaing
dengan batik printing.
Selain itu, pengusaha batik besurek juga menghadapi
persaingan dengan produk batik China. Bahkan sejak tahun 2012 Indonesia telah mengimpor batik China
senilai 285 miliar (sumber : detik finance). Hal ini terjadi karena Indonesia
kini sudah masuk dalam perdagangan bebas. Dan itu berarti tak ada yang dapat
melarang datangnya produk impor dari manapun.
Pengusaha makanan tradisional Bengkulu pun sepertinya
menghadapi kendala yang sama seperti halnya pengusaha batik besurek. Sama-sama menghadapi persaingan bebas yang timbul akibat
diberlakukannya perdagangan bebas.
Produk makanan tradisional Bengkulu sudah pasti akan kalah bersaing
dengan makanan-makanan impor yang harganya lebih murah.
Menghadapi era pasar bebas ASEAN yang mulai diperlakukan akhir
tahun 2015 ini, nampaknya takkan banyak yang bisa dilakukan pengusaha
produk lokal menghadapi persaingan
“tidak sehat” yang akan terjadi.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI) Erik Hidayat mengatakan bahwa sejumlah pengusaha kecil
menengah masih khawatir menghadapi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Mereka
mengaku masih khawatir tak dapat bersaing dengan profesional negara ASEAN lain
dalam menjual produk ketika MEA sudah diberlakukan (wartaekonomi.com). Kekhawatiran ini, menurut Erik, disebabkan
oleh perasaan traumatik yang mereka hadapi ketika perjanjian ACFTA diberlakukan
pada 1 Januari 2010. ASEAN-China Free Trade Area merupakan kerja sama
perdagangan bebas antara masyarakat Asosiasi Asia Tenggara dengan
Tiongkok. Di dalam kesepakatan tersebut
terdapat kebijakan, dimana tarif masuk barang dikurangi hingga dihapuskan
menjadi nol persen, sehingga produk China membanjiri Indonesia dan berhasil
menarik pangsa pasar lebih besar karena harga yang murah. Dengan adanya
perjanjian ACFTA pada 2010, produk Tiongkok atau China dapat lebih mudah
dijumpai di pasar dan toko-toko.Variasi barang dan harga yang lebih murah
dibandingkan dengan produk dalam negeri membuat barang Tiongkok lebih diminati,
sehingga masyarakat mulai meninggalkan produk lokal. Hal ini kemudian membuat
sejumlah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) harus gulung tikar akibat tak dapat
bersaing ketika ACFTA mulai diberlakukan.
Walaupun demikian pemerintah seakan tak mau dianggap sebagai
pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap “anak-anak” asuhannya. Berbagai pihak mendorong
pemerintah untuk melakukan proteksi dalam rangka melindungi pengusaha
menengah ke bawah agar terhindar dari kerugian akibat diberlakukannya MEA. Namun upaya pemerintah tersebut kemungkinan
tak dapat membawa perubahan berarti bagi ketahanan ekonomi masyarakat.
Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai dalam menghadapi era perdagangan
bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN, pemerintah tidak memiliki strategi dan rencana
yang tepat untuk melindungi kepentingan rakyat kecil seperti petani, buruh,
nelayan, dan pedagang tradisional. “Seakan mereka dibiarkan sendirian
menghadapi bahaya AEC,” kata Riza Damanik, Direktur Eksekutif IGJ. Walau
berbagai kalangan sudah mengingatkan, pemerintah sendiri sudah tegak pada
pendiriannya untuk masuk ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Pemerintah
menegaskan tak akan mundur atau menunda keterlibatan dalam liberalisasi barang
dan jasa.
Padahal sejatinya pasar
bebas ASEAN merupakan rancangan
imperialisme barat yang dirancang untuk mengurangi bahkan mengakhiri campur
tangan pemerintah pada sektor perdagangan dan ekonomi secara umum. MEA
merupakan realisasi atas tujuan integrasi ekonomi aliran-aliran bebas barang,
jasa, investasi, kapital, dan tenaga kerja terampil di kawasan ASEAN.
Kebijakan pasar bebas dirancang untuk mengubah dunia
menjadi pasar terbuka bagi produk barang-jasa dari negara maju. Barang-barang
dari negara maju akan bebas keluar masuk tanpa hambatan, dengan dihapusnya hambatan
tarif dan non tarif, termasuk pengurangan pajak dan jaminan tata kelola
pemerintahan yang baik. Alhasil, produk-produk dalam negeri akan bersaing
dengan produk dari luar yang memiliki kualitas yang bagus dan lebih murah,
karena produk luar dihasilkan dari korporasi raksasa yang memiliki kapital
besar. Sehingga bisa dipastikan konsumen akan memilih produk luar dan ini yang
pada akhirnya mematikan produksi dalam negeri. Produsen dalam negeri akhirnya
lebih memilih menghentikan produksinya daripada merugi. Mereka akhirnya putar
haluan menjadi pedagang barang-barang impor karena lebih menguntungkan. Jika
ini terus berlanjut, ketergantungan terhadap produk luar akan meningkat tajam
yang pada akhirnya negara tidak mandiri secara ekonomi. Ketergantungan ekonomi
terhadap negara lain (AS) akan menguntungkan negara penjajah. Produk-produk
mereka terjual di kawasan ini dan mereka bisa mendiktekan kepentingannya karena
ketergantungan akut yang dialami negara-negara berkembang (negara miskin namun
kaya potensi SDA dan SDM).
Jika MEA benar-benar diterapkan maka usaha berbasis
kerakyatan akan lumpuh termasuk UMKM
yang mengusung produk tradisional lokal daerah seperti kain besurek
maupun makanan khas Bengkulu. MEA hanya
akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar yang dibacking negara-negara
kapitalis barat. Sementara bagi Indonesia, MEA hanyalah alat eksploitasi AS
untuk semakin memiskinkan rakyat. Dipastikan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat akan menjadi jauh panggang dari api.
Islam memandang bahwa perdagangan luar negeri yang
berbasis teori free market atau pasar bebas juga perdagangan luar negeri antar
negara yang dilakukan tanpa hambatan seperti tarif- bertentangan dengan ajaran
Islam alias haram. Karena perdagangan luar negeri merupakan hubungan antara negara
Islam dengan negara lain itu berada dalam tanggung jawab negara. Negara
memiliki otoritas untuk mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara
lain, dan hubungan tersebut tidak akan dibiarkan bebas tanpa
kontrol.
Islam memiliki konsep yang khas dalam persoalan
politik-ekonomi internasional. Penerapan Islam dalam kehidupan akan membawa
kesejahteraan bagi rakyat selain akan menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia. Penerapan Islam secara totalitas dalam negara akan membawa keberkahan
bagi seluruh alam. Tidak ada dampak buruk dalam penerapan Islam. Semua konsep
ini siap diimplementasikan secara utuh dalam sistem negara Islam, Khilafah
Islamiyyah yang akan tegak tidak lama lagi.
Oleh karena itu, masyarakat Bengkulu harus menolak pasar bebas 2015
berbasis neolib dan mendukung diterapkannya sistem ekonomi Islam yang
mensejahterakan melalui tegaknya Khilafah.