Oleh Intisharul Ummah
Tuduhan Yang Salah Alamat
Pasca peledakan bom sarinah sebagian pihak, terutama
pemerintah dan pihak keamanan mengklaim bahwa hal itu perbuatan teroris.
Selanjutnya diiringi dengan aktivitas-aktivitas deradikalisasi yang semakin
dimasifkan, pada tanggal 14 Januari 2016 kemendikbud langsung mengeluarkan
panduan bagi guru dan orangtua untuk menghadang teroris.
Wacana yang dilontarkan oleh kemenag terkait revisi sirah
Rasulullah yang lebih menggambarkan Islam yang moderat, menjadi bagian dari
agenda deradikalisasi ini. Ditambah ramainya kritisi buku untuk kalangan PAUD
yang dianggap mengandung ajaran radikalisme.
Salah satu Buku Pendidkan Anak Usia Dini (PAUD) berjudul Anak Islam Suka Membaca
akhirnya ditarik dari peredaran. Buku
terbitan penerbit Solo itu dinilai mengandung paham radikalisme. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) segera mengirim surat ke Kejaksaan
Agung (Kejagung) untuk menarik buku PAUD itu. Gerakan Pemuda (GP) Ansor menilai
buku berjudul Anak Islam Suka Membaca terbitan Penerbit Pusaka Amanah banyak
mengandung kata-kata berbau radikalisme. Catatan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menunjukkan sejumlah kata dan kalimat yang dinilai mengandung unsur
radikalisme dalam buku itu. Kata-kata yang dimaksud contohnya di sini ada
belati”, “gegana ada di mana-mana ”,“rela mati bela agama”,“bila agama kita
dihina kita tiada rela, “lelaki bela agama”, “wanita bela agama”, “kita semua bela
agama”, “kita selalu sedia jaga agama kita demi Ilahi semata”, “bahaya sabotase”, “topi baja kena
peluru”,“bazooka dibawa lari“,”jihad”, “bom”, “kafir, “berjihad di jalan
dakwah”.
Dalam mensikapi buku tersebut, Dirjen Pendidikan Anak Usia
Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen PAUD dan Dikmas) Kemendikbud, Harris
Iskandar, mengatakan buku itu belum memenuhi kriteria kelayakan bahan
pra-keaksaraan untuk anak usia dini. Karenanya, dilarang digunakan sebagai
bahan ajar disatuan pendidikan. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
(Kabalitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, Kemendikbud akan
mengirim surat ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk segera menarik buku PAUD
tersebut. Dia pun mengimbau kepada seluruh penerbit agar lebih hati-hati menerbitkan
buku. Sebab apapun buku yang diproduksi itu dampaknya akan luar biasa ke
peserta didik. Sementara itu sikap yang berbeda justru ditunjukkan oleh tenaga
pendidik PAUD yang sudah bertahun-tahun menggunakan buku itu. Mereka menilai bahwa tidak ada kata-kata yang salah pada buku itu.
Bahkan jika dimaknai secara mendalam, sebetulnya kata-kata yang tertulis
mengajarkan untuk lebih mencintai agama. Lagipula yang diajarkan kepada anak
didik sebatas keaksaraan saja tidak pada memahami makna yang ada pada kata-kata
yang termaktub dalam buku. Karena alasan itulah, sebagian sekolah
bersikap meneruskan penggunaan buku itu.
Sementara beberapa sekolah
lainnya justru memilih mengganti buku
itu dengan buku yang lain karena tidak ingin mengambil resiko dituduh mendidik
calon teroris. Yang lebih menggelikan, ada yayasan pendidikan yang bersedia
melakukan sholat tobat jika nantinya terbukti buku itu mengandung unsur
radikalisme dan terorisme. Bagi sekolah
yang mengganti buku itu dengan buku aksara lain, apakah kemudian lantas
persoalan selesai ? Nyatanya setelah terjadi
pergantian buku, kondisi keaksaraan yang tercantum dalam buku pengganti
tersebut malah dinilai bermakna tidak mendidik.
Ditemukan dalam buku pengganti itu kata-kata “pacar”, “nikah”, “rela
dimadu” dl. Ironisnya para tendik malah menganggap hal tersebut tidak masalah
karena tendik punya kesempatan untuk memberikan pengertian yang tepat kepada
anak didik. Terkesan ada kejanggalan sikap pemerintah dan praktisi
pendidikan anak usia dini dalam memandang kasus buku ini dibandingkan
pensikapan mereka terhadap kasus LGBT yang diaruskan sejak dini. Tidak ada
tindakan tegas untuk melarang dan menghentikan bahkan terkesan membiarkan.
Apakah ini menunjukkan adanya sikap phobia terhadap Islam Kaffah dan memuluskan
Islam moderat yg mengajarkan liberalisasi atas nama HAM yang sudah mereka
tanamkan sejak usia kanak-kanak ?
Bahaya Defensif Apologetik dalam issue radikalisme
Keprihatinan terhadap kehancuran generasi sebenarnya sudah
dirasakan oleh berbagai pihak khususnya
praktisi pendidikan. Penggunaan aksara yang kental dengan nilai-nilai Islam
kaafah dalam buku Anak Islam Cinta Membaca menurut penulisnya dilatarbelakangi
oleh kekecewaan dan keprihatinan terhadap kadar pelajaran agama yang sangat
rendah di sekolah anak usia dini. Namun
upaya monsterisasi terhadap segala hal yang berhubungan dengan Islam kaafah
seperti syariat Islam, jihad,
khilafah, yang sesungguhnya menjadi
agenda besar barat, akhirnya membuat umat Islam menjadi takut dan masuk dalam
jebakan defensif apologetik (ingin membela Islam tapi dengan pembelaan yang
salah).
Dalam kasus buku baca paud ini, sikap defensive apologetik
malah ditunjukkan oleh kebanyakan praktisi pendidik anak usia dini. Ada yang
bersedia sholat tobat jika terbukti buku itu mengandung unsur radikalisme. Sebuah sikap yang seharusnya tidak dilakukan
karena sama halnya bersikap sebagai pihak yang seolah-olah menjadi
tertuduh. Ditambah lagi dengan penggantian buku baru yang malah
mengajarkan aksara yang tidak sepantasnya diajarkan kepada anak-anak usia
dini. Hal ini semakin menguatkan
argumentasi bahwa memang benar bahwa upaya penarikan buku Anak Islam Cinta Membaca menjadi bagian dari agenda deradikalisasi
pada anak usia dini.
Mendudukkan Persoalan
Peristiwa bom Thamrin membawa dampak cukup besar bagi
perkembangan opini dan pemikiran berbagai kalangan, Tidak terkecuali Dinas
resmi pemerintah juga ikut turun tangan. Sebagaimana yang dilansir
metrotvnews.com (22/10/2016), Kemendikbud melaui surat edaran bernomor
109/C.C2/DU/2016, melarang bahan ajar PAUD yang mengandung unsur kekerasan.
Begitu pula Menteri Agama, melalui pernyataannya menyampaikan bahwa ada rencana
untuk merevisi siroh Rosululah SAW, agar tidak menginspirasi pembaca (khususnya
pelajar) menjadi teroris.
Kebijakan ini sejalan dengan apa yang telah disampaikan
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa beberapa bulan yang lalu, bahwa
pendidikan anak usia dini merupakan salah satu media pendidikan yang dapat
mencegah secara dini paham radikalisme untuk berkembang.
Hal ini dinyatakannya menanggapi hasil survey yang dilansir
Maret 2015. Survey yang dilakukan Setara Institute mengatakan sebanyak 7,2
persen siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) di Jakarta dan Bandung menyetujui gerakan ISIS yang berjuang mendirikan negara Islam
di Irak dan Suriah. Artinya, setiap 14 siswa SMU, ada 1 yang mendukung gerakan
ISIS. Survey tersebut dilakukan pada 171
SMU di Jakarta dan Bandung. Tiap sekolah
diambil enam siswa atau siswi sebagai responden sehingga total responden
mencapai 684 orang.
Sebagai kelanjutan dari hasil survey ini, Menteri Sosial
Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan nada keprihatinannya,“Kalau sudah
seperti ini, preventif untuk radikalisme menjadi lebih berat. Beda kalau kita
bisa melakukan preventif dari usia dini dengan membangun pemahaman keragaman
budaya (multikulturalisme) dan pluralisme. Lewat langkah itu, toleransi dan
moderasi bisa tertanam lebih awal,” kata Mensos. Dengan begitu, lanjut
Khofifah, proses preventif radikalisme tidak menjadi berbiaya tinggi.(Republika.co.id,
12/04/2015).
Melihat track dan recordnya, Setara Institute merupakan
salah satu lembaga survey yang hasil-hasil surveinya seringkali bernada
memojokkan Islam atau menebar ketakutan akan Islam. Tahun 2010 misalnya, mereka meluncurkan hasil
survey yang menunjukkan bahwa
kecenderungan intoleransi warga di wilayah Jabodetabek masih sangat tinggi.
Namun Setara Institute tidak fair dalam surveinya. Hal ini karena mereka memiliki tolok ukur
sendiri untuk mendefinisikan apa itu toleransi dan intoleransi. Dalam kerangka ini sikap responden dalam
masalah personal dan menyangkut
keyakinan seperti menolak anggota keluarga yang menikah dengan pemeluk agama lain, tidak setuju terhadap pindah agama,
tidak setuju aliran sesat, menolak
pendirian rumah ibadah agama lain, atau
yang tidak setuju terhadap mereka
yang tidak beragama disebut sebagai kurang toleran.
Sama halnya ketika hasil survey menyatakan sikap menolak
Ahmadiyah dan aliran sesat sebagai tidak
toleran. Seakan-akan sikap seperti itu adalah buruk. Sebaliknya kalau menyetujui pernikahan dengan agama lain, pindah agama, tidak setuju terhadap
pembubaran Ahmadiyah, adalah
sikap yang baik, karena merupakan
tindakan yang toleran.
Padahal wajar saja kalau responden terutama yang muslim bersikap seperti itu. Seorang muslim
tidak boleh menerima hal-hal yang bertentangan dengan aqidah Islam dan
merupakan hal yang maksiat (kemungkaran).
Syariat Islam yang merupakan keyakinan mereka
telah menjelaskan haramnya seorang wanita muslimah menikah dengan
pria non muslim atau keluar dari Islam
(murtad). Sama persis dengan penolakan terhadap perilaku korupsi, suap menyuap,
rekasaya kasus, karena semua itu perkara
munkar yang bertentangan dengan syariat Islam.
Dari beberapa penggunaan istilah tidak toleran, terdapat
kecenderungan yang jelas, bahwa
yang dasar penilaian toleransi atau
tidak adalah pemikiran liberal (HAM).
Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada
agamanya disebut tidak toleran karena bertentangan dengan HAM. Begitupun
tahun 2011 lalu Setara membuat survey yang menyatakan keberpihakan umat islam
terhadap Ahmadiyah, padahal data tidak menunjukkan seperti itu. Sampling yang dilakukan juga tidak fair
karena menyasar responden muslim dari kalangan bawah yang tidak memahami fakta
Ahmadiyah.
Dengan melihat track record Setara Institute, bukan mustahil
survey terhadap remaja pelajar ini memiliki tendensi tersendiri. Kekhawatiran akan tumbuhnya benih radikalisme
di kalangan generasi muda efektif untuk mendorong program deradikalisasi di
kalangan mereka. Ini artinya upaya
membentuk masyarakat Islam moderat yang dicita-citakan para pendiri dan aktivis
Setara Institute akan mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan akan
dilakukan sedini mungkin. Semakin dini
pembentukan opini moderasi Islam, semakin nyata hasilnya karena mendidik anak
semenjak kecil adalah ibarat mengukir di atas batu. Upaya Setara Institute ini
segera berbuah dengan munculnya pernyataan dari Mensos untuk melakukan program
deradikalisasi sejak di PAUD.
Mewaspadai Deradikalisasi Sejak Usia Dini
Istilah radikal sekarang telah menjelma menjadi kata-kata
politik yang cenderung multitafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat
penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Seperti penggunaan istilah Islam
radikal yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk
mencapai tujuan, menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang
dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang
digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan
kepentingan Barat. Julukan Islam radikal kemudian digunakan secara sistematis
bagi pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme,
Sekulerisme, dan demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah
Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi, dan melakukan jihad melawan Barat.
Program deradikalisasi dimaksudkan untuk meredam semua itu.
Karenanya program ini dijalankan dengan tujuan membentuk umat Islam yang
moderat, pluralis dan toleran. Melakukan upaya deradikalisasi semacam ini
artinya mereduksi aqidah Islam dan menjadikan aqidah Islam hanya aqidah ruhiyah
semata. Hukum-hukum syara’ dipilah dan dipilih sesuai paham sekuler, yang
terkait dengan ibadah diambil, tetapi yang terkait dengan pengaturan kehidupan
dicampakkan.
Langkah pemerintah untuk menanggulangi radikalisasi ini,
terlihat sangat berbeda dengan sikap mereka ketika menghadapi pemikiran dan
tingkah laku rusak yang menimpa anak – anak sampai pemuda. Lihat saja kasus
yang sekarang sedang ramai di media sosial, yakni mengenai akun twitter
@gaykids_botplg, yang menggencarkan opini sah nya hubungan sesama jenis.
Menurut pantauan harian metropolis, pengikut akun ini kebanyakan adalah anak
SMP. Tapi justru pemerintah terkesan mendiamkan saja kasus ini. Padahal KPAI
sangat mengkhawatirkan kondisi ini merusak generasi muda Indonesia
(Republika.co.id, 25/10/2016).
Juga apa yang disampaikan Ibu Elly Risman dalam sebuah acara
di Trans TV, juga sebuah hal yang sangat mengerikan. Beliau memaparkan bahwa
ancaman pornografi mengintai anak – anak kita di manapun mereka berada. ketika
anak – anak sudah kena serangan pornografi, sangat sullit begi mereka untuk
lepas. karena yang terserang adalah syaraf – syarafnya. Tidak cukup
detoxifikasi sebagaimana pecandu narkoba atau minuman keras. tapi ini
membutuhkan tekad dan kekonsistenan yang tinggi bagi pelakunya. Dan riset Bu
Elly ternyata cukup membuat shock, karena serangan itu telah benar – benar
terjadi dan anak – anak Indonesia telah sampai pada level “kecanduan”. Kondisi
ini ternyata juga ditanggapi pemerintah dengan santai. Ibu Elly sampai menangis
di forum bercerita bahwa riset yang beliau tawarkan ke berbagai kementrian
terkait tidak ditanggapi. bahkan saat berkesempatan bertemu dengan ibu negara pun,
beliau berusaha menyampaiakn, tapi hasilnya sama dengan kementrian yang sudah
didatangai. “UU pornografi yang ada, sama sekali tidak menyentuh kasus di
lapangan”, keluh Bu Elly.
Terlihat jelas adanya ketidakadilan pemerintah dalam
menanggapi persoalan yang ada di Indonesia. Sehingga program deradikalisasi
yang hendak dimulai dari pendidikan usia dini perlu diwaspadai umat Islam. Usia
dini adalah usia kritis, usia pembentukan dasar-dasar pemikiran dan perilaku
yang merupakan komponen kepribadian. Bila anak usia dini dikenalkan kepada
Penciptanya, ditanamkan ketaatan dan ketundukan kepada Sang Pencipta, diajarkan
untuk teguh berpegang kepada agama, maka berarti kita telah meletakkan fondasi
yang kuat bagi agamanya.
Sebaliknya bila kita tanamkan pemahaman bahwa semua agama
sama, Mereka akan mudah diperdaya berbagai produk perang pemikiran dan budaya
seperti liberalisme, hedonisme dan materialisme. Generasi liberal yang pasca UN
menggelar pesta seks, pesta bikini, dan pesta miras. Generasi hedonis yang doyan
ke kafe, karaoke, dan hura-hura lainnya. Generasi materialis yang harus punya
gadget terbaru, gaya hidup mewah dan aksesori wah. Untuk memenuhinya,
remaja-remaja perempuan tak segan menjual diri, dan remaja laki-laki nekat
menjadi begal.Fakta miris seperti inikah yang kita inginkan dengan
mengeliminasi pendidikan agama yang bersifat mendasar (radikal) pada anak usia
dini? Kita tanamkan pada anak kita semua agama sama benarnya, apakah ikhlas
kalau anak-anak kita lantas mudah berpindah agama?
Kalau pertimbangannya hanya sekedar biaya seperti yang
dikatakan Khofifah, mana yang lebih mahal bagi kita, generasi Islam yang
berakhlak mulia, ataukah generasi liberal dan moderat yang longgar dari
nilai-nilai agama? Kalau kita mau jujur menilai, kerusakan yang ditimbulkan paham Islam moderat dan liberal
lebih mahal biaya untuk memperbaikinya ketimbang kita berikan pendidikan agama
yang lurus semenjak dini, sesuatu yang ditentang oleh program deradikalisasi.
Umat Islam Jangan
Mudah Tertipu
Program deradikalisasi hakekatnya adalah program
de-Islamisasi. Inilah yang harus diwaspadai umat. Makna radikal telah
dipelintir dan dimanfaatkan kelompok Islamophobia untuk melonggarkan
keterikatan umat terhadap hukum Islam.
Dalam kamus besar Indonesia, radikal diartikan perubahan mendasar.
Sementara itu, sejarah mencatat, perubahan besar yang terjadi di dunia tidak
selalu bermakna buruk. Dalam sejarah masyarakat Barat juga terjadi beberapa
perubahan mendasar yang dianggap justru memberikan pencerahan dan awal
kebangkitan masyarakat Barat. Seperti perubahan dari sistem teokrasi yang
represif pada abad kegelapan menjadi demokrasi. Masa itu bahkan dianggap awal
kebangkitan Barat. Indonesia sendiri dalam fragmen sejarahnya mengalami
perubahan mendasar. Kemerdekaan Indonesia sering dianggap merupakan tonggak
perubahan mendasar (radikal) dari negara yang dijajah oleh kolonial menjadi
negara yang merdeka.
Baik buruknya perubahan yang mendasar (radikal) itu
tergantung atas dasar apa dan bagaimana
perubahan mendasar itu dilakukan. Dalam hal ini
Islam menawarkan perubahan dengan asas yang jelas kebaikannya yakni Islam karena berasal dari Allah SWT Dzat yang
Maha Sempurna yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Islam hadir di dunia untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin yang
memberikan kebaikan bagi seluruh seluruh
umat manusia tanpa pandang ras, suku, bangsa, ataupun agamanya.
Maka tak perlu takut menjadi radikal dalam makna menjalankan
Islam secara kaaffah. Justru inilah yang
akan menghantarkan anak-anak kita menjadi generasi umat terbaik yang pernah
dilahirkan bagi manusia. Insya Allah.
Sebagaimana firman Allah SWT :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya: Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang ma’ruf, mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (TQS. Ali Imran[3]: 110).
Program Deradikalisme adalah Proyek Besar Kafir Barat
Program deradikalisasi sejak dini, yang dijalankan sebagai
program de-islamisasi, bukanlah langkah yang efektif menjaga generasi bangsa.
Justru jika program ini benar-benar digalakkan, akan semakin mengembangkan
berbagai macam masalah bagi bangsa Indonesia. Sebab pribadi-pribadi yang akan
terbentuk adalah pribadi yang lembek, tidak berprinsip, gampang terpengaruh,
dan rendah daya juangnya. Terlebih era MEA telah berjalan. sehingga arus budaya
dan pemikiran akan semakin deras menghantam Indonesia. Lagipula deradikalisasi
adalah proyek besar negara-negara kapitalis barat melalui issu war of
terorisme. Deradikalisasi menjadi semacam proyek dan masuk dalam APBN dan
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah bekerja sama dengan lembaga non
pemerintah, LSM, ormas dan lain-lain. Hal ini diakui sendiri oleh salah satu
politisi PDIP, TB Hasanuddin dalam keterangan tertulis, Senin (18/1/2016).(mediaumat.com,
21/1/2016). Tentu saja tujuan besar proyek ini adalah mencegah diterapkannya
Islam kaafah dalam bingkai Khilafah.
Maka sudah selayaknya kaum muslimin bersatu padu cegah dan
tangkal proyek deradikalisasi ini. Untuk itu, proyek deradikalisasi harus
direspon dengan cara :
Pertama, meningkatkan kesadaran politik (wa’yu siyasi) kaum
Muslim melalui edukasi yang bersifat terus-menerus. Yang dimaksud dengan
kesadaran politik (wa’yu siyasi) di sini bukanlah kesadaran berpolitik seperti
yang dimiliki politisi sekular, tetapi kesadaran yang mendorong umat untuk
memandang setiap persoalan dari sudut pandang akidah dan syariah Islam.
Kesadaran inilah yang akan memandu kaum Muslim selalu waspada terhadap setiap
upaya yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi Islam dan kaum Muslim,
termasuk melalui proyek deradikalisasi. Kesadaran ini pula yang akan mendorong
mereka untuk membela ajaran Islam dari para perongrongnya. Wa’yu siyasi hanya
akan tumbuh jika di tengah-tengah umat ada tatsqif (pembinaan) yang bersifat
terus-menerus hingga umat menjadikan akidah Islam sebagai satu-satunya sudut
pandang hidupnya dan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan yang mengatur
seluruh perbuatannya.
Kedua, memberi penjelasan yang benar kepada umat tentang
makna jihad, taghut dan Khilafah, sekaligus menunjukkan letak kesalahan
pemaknaan yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam terhadap istilah-istilah
tersebut. Tentang jihad, seluruh ulama sepakat bahwa makna jihad menurut
pengertian syariah adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana
yang dinyatakan dalam kitab Bada’i’ ash-Shana’i’,“Secara literal, jihad adalah
ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan…Adapun menurut pengertian
syariah, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang
di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.” (Al-Kasani,
Bada’i’ ash-Shana’i’, VII/97). Adapun taghut, seluruh ulama juga sepakat bahwa
definisi taghut adalah sesembahan selain Allah atau hukum-hukum kufur. Imam
As-Sa’di menyatakan bahwa taghut adalah semua hukum selain hukum Allah SWT
(Imam Abdurrahman Nashir as-Sa’di, Taysir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalaam
al-Manan, hlm.90).
Imam Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-‘Arabi
menyatakan, thaghut adalah semua hal selain Allah yang disembah manusia seperti
berhala, pendeta, ahli sihir atau semua hal yang menyebabkan syirik (Ibnu
al-’Arabi, Ahkam al-Qur’an, I/578). Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami
bahwa sekularisme, liberalisme, demokrasi, nasionalisme, sosialisme dan
kapitalisme adalah taghut yang harus diingkari dan ditolak oleh kaum Muslim.
Sedangkan Khilafah, seluruh ulama sepakat bahwa Khilafah adalah kepemimpinan
umum kaum Muslim di seluruh dunia pada wilayah tertentu untuk menjalankan
syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Ketiga, membangun sebuah kesadaran bahwa menerapkan syariah,
menegakkan Khilafah dan berjihad di jalan Allah adalah kewajiban agama. Seorang
Mukmin wajib menjalankan syariah Islam secara menyeluruh dalam koridor sistem
pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah. Seorang Muslim juga diwajibkan
berperang di jalan Allah SWT jika sebab-sebabnya telah terpenuhi. Atas dasar
itu, ketika kaum Muslim berjuang untuk menegakkan syariah dan Khilafah, semua
itu semata-mata karena refleksi keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT.
Selain itu, perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah justru ditujukan untuk
mengentaskan manusia dari keterpurukan akibat penerapan sistem
demokrasi-sekular dan mengembalikan supremasi Islam dan kaum Muslim; bukan
untuk menciptakan teror dan kekerasan.
Keempat, mengungkap rencana-rencana jahat musuh Islam serta
makar dan persekongkolan para penguasa sekular dengan negara-negara imperialis
Barat (kasyf al-khuththat). Upaya ini ditujukan agar umat Islam mampu melihat
dan menghindarkan diri dari kejahatan tersembunyi yang ada di balik makar dan
persekongkolan tersebut. Dengan cara seperti itu pula, hubungan rakyat dengan
para penguasa sekular bisa diguncang dan diruntuhkan hingga rakyat tidak lagi
mempercayai para penguasa sekular dan pada akhirnya rakyat akan menyerahkan
kekuasaannya kepada gerakan Islam yang mukhlish.
Akhirnya dengan keempat cara ini, proyek deradikalisasi akan
menuai kegagalan atas izin Allah SWT. Mengapa demikian? Sebab, proyek ini
justru akan mempertebal keyakinan umat Islam atas kebenaran agamanya, dan
semakin memperbesar ketidakpercayaan umat terhadap para penguasa sekular. Jika
ini yang terjadi, insya Allah, pertolongan Allah SWT akan diturunkan kepada
kaum Muslimin dan Khilafah segera tegak dalam waktu yang tidak akan lama lagi.