AGAR
RAMADHAN LEBIH BERMAKNA
(Tulisan ini dimuat di Harian Rakyat Bengkulu, Jumat 20 Juli 2012)
Ramadhan
1433 H akan segera tiba. Seperti biasa event tahunan umat Islam ini akan
disambut dengan berbagai rutinitas ibadah.
Umat Islam paham bahwa Ramadhan adalah bulan yang diliputi
keberkahan. Rasulullah menjanjikan siapa
saja yang mengerjakan amalan fardhu akan diganjar 70 kali lipat pahala. Sementara
amalan sunnah diganjar seperti mengerjakan amalan wajib (HR Ibnu
Khuzaimah). Tak heran pada awal Ramadhan
masjid-masjid tampak ramai dipenuhi jamaah. Pasar tradisional maupun modern
berlomba-lomba menyenandungkan lagu-lagu yang bernuansa islami. Toko-toko busana muslimah laris diserbu
pelanggan. Demikian juga dengan tayangan
televisi, semua stasiun berlomba-lomba membuat tontonan bernuansa religi. Namun
fenomena ini akan hilang begitu Ramadhan berakhir. Seakan-akan Ramadhan hanya sebatas persinggahan sejenak
untuk melepaskan kepenatan dari rutinitas bulan-bulan sebelumnya. Sementara kualitas ibadah dan kepribadian sesudah Ramadhan tak jauh berbeda dengan
sebelum Ramadhan.
Benar, Ramadhan
tahun ini sepertinya juga akan sama dengan Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Pada
umumnya umat Islam akan tersibukkan dengan rutinitas peribadatan yang hampir
kehilangan spiritnya. Sama halnya dengan rutinitas persoalan masyarakat yang
sampai saat ini tak kunjung selesai. Persoalan
yang dimulai dari bidang politik pemerintahan hingga eksosbudhankam seperti:
krisis kepemimpinan, korupsi, kemiskinan, persoalan gelandangan dan anak terlantar
jalanan, pengangguran, tawuran, persoalan pergaulan yang semakin bebas pada
generasi muda dan akibat yang ditimbulkannya (seperti freesex dan aborsi),
hingga persoalan kenaikan harga pangan menjelang hari besar seperti Ramadhan
atau lebaran nanti. Itu semua merupakan setitik persoalan dari ribuan persoalan
yang kehadirannya tetap mewarnai hari-hari di bulan Ramadhan. Lantas bagaimana suasana Ramadhan di Bengkulu
? Ternyata kondisinya tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Persoalan
masyarakat nampaknya tetap mewarnai perjalanan Ramadhan tahun ini. Berbagai
masalah sosial masyarakat di Bengkulu mulai merebak ke tahap yang
mengkhawatirkan. Sebagai contoh kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang
dilakukan kalangan keluarga sendiri di Bengkulu berada di posisi teratas se-Indonesia.
Kemudian kasus narkoba yang terbilang tinggi serta kasus kriminal lainnya. Tingginya
angka kriminalitas di Bengkulu, menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya
masih rendah. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas) menyatakan
bahwa Bengkulu merupakan provinsi termiskin kedua se-Sumatera setelah Aceh,
yakni mencapai 17,50 persen. Kemiskinan ini dipicu oleh tingginya angka
pengangguran. Selain itu seluruh
perusahaan yang ada di Bengkulu, 80 persennya dikuasai pihak asing. Tak heran
jika kesenjangan sosial menjadi problem utama di Bengkulu.
Lantas apa sesungguhnya
makna ramadhan di balik rutinitas persoalan yang datang silih berganti ? Tidakkah ramadhan dapat membawa makna perubahan bagi seluruh umat Islam mulai dari rakyat sampai pemimpinnya ?
Ramadhan
memang istimewa. Ramadhan ibarat kepompong yang merubah ulat buruk rupa menjadi
kupu-kupu yang indah.
Demikian perumpamaan orang yang memaknai Ramadhan sebagai tempat membina
diri meraih taqwa (QS 2:183). Jika
‘buah’ dari puasa adalah takwa, tentu idealnya umat Islam menjadi orang-orang yang taat kepada
Allah SWT tidak hanya di bulan Ramadhan saja. Juga tidak hanya dalam tataran
ritual dan individual semata. Ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat juga di
luar bulan Ramadhan sepanjang tahun dalam seluruh tataran kehidupan
mereka. Fakta yang terjadi malah
sebaliknya. Setelah Ramadhan berlalu, justru umat Islam kembali jauh dari ketaatan
pada Allah SWT. Masjid-masjid akan kembali sepi padahal sebelumnya dipadati
oleh jamaah. Senandung lagu islami di mal-mal atau pusat perbelanjaan akan
segera berganti lagi dengan lagu-lagu non religi. Tayangan televisi berubah
lagi menjadi tayangan hiburan yang berbau pornografi dan pornoaksi.
Busana-busana taqwa dan kitab suci akan tersimpan di lemari sampai Ramadhan
tahun depan. Perbuatan maksiat semakin merajalela. Kehidupan rakyat terasa
semakin sulit. Kemakmuran dan kesejahteraan terasa makin jauh dari harapan. Penguasa
semakin abai dari tanggung jawabnya mengatur urusan umat. Sekularisme
(pengabaian agama dari kehidupan) dan liberalisme tetap mendominasi kehidupan
umat Islam.
Bahkan
setelah Ramadhan, tak ada dorongan dari kebanyakan umat Islam, khususnya para
penguasanya, untuk bersegera menegakkan hukum-hukum SWT secara formal dalam segala aspek
kehidupan melalui institusi negara. Bahkan diantara mereka ada yang tetap dalam
keyakinannya, bahwa hukum-hukum Islam tidak perlu dilembagakan dalam negara,
yang penting subtansinya. Anehnya, pemahaman seperti ini juga menjadi keyakinan
sebagian tokoh-tokoh agama Islam. Keyakinan semacam ini menunjukkan satu hal,
mereka seolah ridha dengan hukum-hukum sekular yang ada (yang nyata-nyata batil
dan kufur) dan seperti keberatan jika hukum-hukum Islam diterapkan secara total
oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Karena
itu pula, hendaknya umat Islam khususnya di negeri ini, menjadikan Ramadhan
kali ini sebagai momentum untuk segera mengubur sekularisme, kemudian
menggantinya dengan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek
kehidupan yakni dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Itulah wujud ketakwaan
sejati. Itu pulalah yang menunjukkan bahwa kita benar-benar sukses menjalani
puasa sepanjang bulan Ramadhan.
Penulis :
Indah Kartika Sari
Ketua Muslimah Hizbut
Tahrir Indonesia DPD I Bengkulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar