ANAK
DAN REMAJA INDONESIA,
MULIA
BAHAGIA SEJAHTERA DALAM NAUNGAN ISLAM
“Anak-anakmu bukanlah anakmu, tetapi mereka adalah anak
zamannya, “begitulah ungkapan seorang penyair menggambarkan zaman yang sangat berpengaruh terhadap
kepribadian anak. Ungkapan tersebut tidak salah. Anak dan remaja
Indonesia saat ini dilingkupi oleh berbagai persoalan yang menggerogoti
kehidupan dan kepribadiannya. Kongres
anak dan remaja yang selalu diadakan setiap tahun nampaknya belum memberikan solusi yang mendasar terhadap permasalahan
anak dan remaja di Indonesia. Forum yang diikuti
anak dan remaja dari berbagai kalangan (sekolah tingkat SD-SMA, bahkan dari
kalangan anak jalanan) justru menjadi ajang untuk menanamkan
persepsi kebebasan dengan landasan Konvensi Hak Anak. Anak dan remaja Indonesia telah di giring kepada
pemikiran liberal (membuang Islam sebagai sudut pandang kehidupan) yang
menyesatkan. Sebagai contoh, dalam kongres anak ke IV di Jogja
Tahun 2004, salah satu kelompok diskusi anak SD mengutarakan
mengenai hak berkreasi yang masih terbelenggu dalam aturan-aturan keluarga. Apakah artinya ini, anak dan remaja Indonesia boleh menyatakan bahwa
dia “terbelenggu (tidak bebas mengekpresikan
kecantikan dan kemolekan tubuhnya)”
saat orangtuanya menyuruh untuk menutup aurat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT? Anak dan remaja Indonesia akan dengan berani secara
lantang untuk menolak larangan dalam keluarga untuk tidak
pulang malam dengan alasan refreshing dan gaul? Apakah larangan-larangan dari Allah SWT yang diajarkan
oleh orangtua dianggap membelenggu anak dan remaja Indonesia?
Lalu bagaimana dengan kondisi
kehidupan anak Indonesia saat ini? Sekalipun pemerintah selalu menghimbau untuk
memperhatikan hak hidup, tumbuh berkembangnya serta aktualisasi anak di
masyarakat, namun kenyataannya banyak anak Indonesia yang belum hidup
bahagia, memiliki harapan dan cita-cita. Sebagian besar dari mereka masih hidup
dalam suasana memprihatinkan, penuh kesedihan, jauh dari hak-hak anak yang
seharusnya mereka terima. Ada
sekian juta yang mengalami gizi buruk.
Tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sampai 17,9 persen atau
sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi dan gizi buruk. Jumlah anak –
anak terlantar sebanyak 5,4 juta orang. Dalam hal pendidikan,
anak – anak usia 7- 15 tahun yang terancam
putus sekolah mencapai 13 juta anak. Itu pula
yang terjadi dengan anak-anak dan remaja
di Bengkulu. Yayasan
Cahaya Perempuan Bengkulu menyebutkan data
peningkatan kasus incest terhadap
anak dan remaja dalam tiga tahun
terakhir. Tahun 2008 ada lima kasus, 2009 dua kasus, tahun 2010 ada 13 kasus
dan semester pertama 2011 tujuh kasus.
Korban kasus incest ini berusia kisaran 5 hingga 18 tahun. Sementara kasus
anak terlantar dan anak jalanan di Bengkulu juga meningkat pesat karena faktor
kemiskinan.
Sebenarnya masalah anak telah diatur
dalam UUD 1945 pada pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa anak terlantar merupakan tanggung jawab negara. Faktanya anak – anak terlantar semakin bertambah tiap tahunnya.
Bahkan, nasib anak – anak tersebut tidak jelas. Mereka, tidak mendapatkan
pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, dan rumah yang layak. Tidak sedikit dari mereka dibiarkan berbuat asusila (pornografi dan
pornoaksi). Bahkan diantara mereka ada yang menjadi korban dan sekaligus pelaku
perbuatan amoral tersebut.
Anak
dan remaja adalah asset generasi masa depan. Di tangan merekalah kredibilitas
sebuah bangsa dipertaruhkan. Sebab masa depan Indonesia yang akan datang tergantung
dengan kondisi generasinya. Namun sistem kapitalis sekuler yang menguasai
Indonesia sampai hari ini telah menciptakan kondisi buruk bagi perkembangan
fisik, kejiwaan dan perilaku anak. Banyak anak-anak yang tergadaikan hak-haknya
karena kelalaian keluarga yang tidak mengerti bagaimana memenuhi hak anak-anak.
Juga masyarakat yang sangat abai dengan lingkungan bersosialisasi anak.
Sementara di sisi lain negara juga tidak peduli dengan jaminan pendidikan,
kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Syariat Islam menganggap anak dan remaja sebagai
bagian dari masyarakat yang juga berhak
untuk
dipenuhi kebutuhan
hidupnya
secara optimal. Negara, dalam hal ini Khilafah Islam akan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan pokok
anak dan remaja seperti makanan, pakaian dan perumahan
melalui kepala
keluarga/wali yang bertanggung jawab
terhadap
nafkah anggota keluarga
(termasuk anak-anaknya). Apabila anak
tidak memiliki orangtua dan wali yang mampu mencukupi kebutuhan mereka, maka
sebagai jalan terakhir negara khilafah akan mengambil tanggung
jawab ini. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang bersifat
komunitas seperti pendidikan,
kesehatan dan keamanan merupakan tanggung jawab
penuh negara. Dalam negara khilafah, anak-anak tidak disibukkan dengan kewajiban bekerja
untuk menambah penghasilan keluarga. Kalaupun sifatnya membantu tidak untuk menambah penghasilan tetapi lebih sekedar
melatih anak untuk siap menjalani kehidupan di masa datang dengan mandiri.
Anak dan remaja yang hidup dalam negara khilafah, akan mendapatkan pendidikan yang membentuk
kepribadian Islamnya. membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang
berhubungan dengan kehidupan. Untuk itu pendidikan dilaksanakan secara
terintegrasi antara sekolah, lingkungan dan keluarga dengan memiliki cara pandang yang
sama yaitu menjadikan
aqidah Islam sebagai dasar pembentukan kepribadian Islam baik pola pikir maupun pola sikap
anak didik. Untuk itu, negara khilafah didukung dengan penerapan sistem politik ekonomi yang mampu
memberi jaminan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat. Oleh karena itu wajarlah bila khilafah Islam mampu melahirkan
generasi yang hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal, memiliki pemikiran dan
perilaku yang cemerlang, juga berkontribusi bagi tegaknya peradaban yang maju,
kuat dan terdepan.
Penulis :
Indah Kartika Sari
Ketua Muslimah
Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Bengkulu