Senin, 08 September 2014

PESANTREN IMPIAN

Judul postingan ini terinspirasi oleh sebuah buku yang dikarang oleh Asma Nadia, sang novelis Islamiy...Pesantren, sebuah tempat merajut impian...Impian menjadi manusia seutuhnya yang mempersembahkan bakti utuhnya pada Sang Ilahi Rabbi...Pesantren, sebuat tempat yang diibaratkan sebuah surganya ilmu. Ilmu yang menjadikan manusia mulia karena pemahaman dan ketaqwaannya.
Bagi yang pernah hidup di pesantren tentu merasakan indahnya hidup di dunianya para calon ustadz/ustadzah.  Banyak suka dan duka dirasakan selama hidup di dalamnya.  Kita berlatih untuk hidup dalam suasana berjama'ah..Semua dilakukan penuh kebersamaan...Makan, tidur, sholat, belajar dan seabreg kegiatan yang ditetapkan pesantren dilakukan secara bersama-sama...

Bersambung....

KIAT ISLAM MEMBERANTAS ABORSI DAN PERGAULAN BEBAS (Mengkritisi Peraturan Pemerintah No.61/2014)


Praktek aborsi di Indonesia di kalangan perempuan  makin marak saja. Dalam setahun terakhir, tingkat aborsi di Indonesia sudah mencapai tiga juta orang.  Dan yang lebih memprihatinkan,  pemerintah  menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi  pada 21 Juli 2014 lalu. Dalam PP tersebut pengakhiran kehamilan secara sengaja (aborsi) alias membunuh janin diperbolehkan dengan beberapa syarat antara lain korban perkosaan. “Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir,” bunyi Pasal 31 ayat (2) PP ini. Menkes Nafsiah Mboy bersikukuh  untuk melegalisasi PP ini dengan alasan  keadilan. Beliau mengatakan tidak adil membiarkan perempuan korban perkosaan mengandung anak dari laki-laki yang dibencinya.  Namun benarkah pernyataan ini ? Apakah legalisasi aborsi bisa menolong  perempuan korban perkosaan ? Apakah justru  malah akan melahirkan trauma baru berupa bayang-bayang kesalahan karena telah menghilangkan kehidupan bayi yang tidak berdosa ?
            Jika pemerintah memang  berniat untuk menyelamatkan perempuan dari kebuasan pemerkosa maka semestinya bukan dengan  mengaborsi bayi yang tidak bersalah.  Pemerkosaan hanyalah dampak dari kerusakan sistem sosial dan tata pergaulan yang sudah kacau.  Pemerkosaan adalah kejahatan seksual yang selayaknya menjadi musuh bersama karena siapapun bisa menjadi korbannya. Pelakunya tidak memperdulikan status korban. Begitu nafsu binatangnya bergejolak, maka saat itu dia akan mencari mangsanya. Setiap wanita bisa jadi korbannya. Kaya, miskin, anak-anak, dewasa bahkan nenek-nenek sekalipun tidak luput dari kebejatannya. Sadar tidak sadar, liberalisme budaya dan tingkah laku telah menjadi penyebab maraknya kasus perkosaan. Paham ini melahirkan tuntutan berbagai kebebasan perempuan untuk berkeliaran dengan berbagai gaya dan penampilan.  Atas nama kebebasan, mereka sudah tidak malu menampakkan  sebagian besar tubuhnya yang semestinya ditutup. Tentu saja kebebasan seperti ini tidak lagi memperhatikan lagi keselamatan orang lain untuk selamat dari penglihatan yang diharamkan. Penampilan yang sensual tentu saja membuat gejolak seksual laki-laki meningkat. Sementara imannya tak kuat untuk mengendalikan gejolak  nalurinya. Tidak mengherankan jika terjadi pelampiasan nafsu dengan cara yang diharamkan.
            Di lain sisi, gejolak seksual  terus dirangsang  dengan pornografi  dan pornoaksi.  Sementara itu penyaluran gejolak yang halal malah dibatasi dengan usia nikah minimal 18 tahun. Tidak mengherankan jika seks bebas di kalangan remaja semakin marak terjadi.  Menurut Dokter Julianto Witjaksono, Sp.OG dari BKKBN sekitar 46 persen  remaja berusia 15-19 tahun yang belum menikah sudah melakukan hubungan seksual. Apakah kita terus membiarkan hal ini terjadi sehingga bangsa Ini mengalami “lost generations”?
            Perkosaan dan pergaulan bebas merupakan penyimpangan dari naluri seksual yang memang ada pada setiap manusia.  Pada dasarnya Allah SWT telah menciptakan naluri tersebut beserta proses penciptaan manusia dengan tujuan melestarikan keturunan manusia.  Untuk tujuan tersebut Allah telah memberikan sekumpulan aturan  untuk mengelola naluri ini supaya muncul pada waktu dan tempat yang tepat, penyalurannya syar’iy dan  sesuai dengan tujuan untuk apa Allah ciptakan naluri tersebut.
            Beberapa aturan tersebut diantaranya adalah adanya pemisahan  kehidupan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (infishol).  Keduanya hanya boleh berinteraksi dalam perkara yang diperbolehkan hukum syara’ seperti dalam jual beli, ijarah dan perwakilan namun  mengharamkan adanya khalwat atau berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram kecuali disertai dengan mahramnya (HR Muslim).  Selain itu, dalam kehidupannya di luar rumah Islam telah mewajibkan perempuan memakai pakaian yang sempurna untuk menutup auratnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya (HR Abu Dawud).  Sementara itu bagi laki-laki ada kewajiban untuk menundukkan pandangannya terhadap lawan jenis (QS 24 :30). Berikutnya, Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pemuda untuk segera menikah apabila sudah mampu karena pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan dapat memelihara kemaluan (HR Muttafaq ‘alayh).
            Paket aturan ini  merupakan upaya pencegahan terjadinya penyaluran naluri seks dengan cara yang diharamkan.  Adapun negara Khilafah akan bertanggung jawab untuk memberlakukan sanksi-sanksi syariah sebagai upaya kuratif bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran syariah seperti perkosaan, perzinahan maupun penyimpangan seksual. Sistem sanksi (‘uqubat) yang diberlakukan bagi pelaku pelanggaran syariah  bisa berupa hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat (Abdurrahman al Maliki, Nizham al ‘Uqubat, hal.17-21).  Pelaku perkosaan akan mendapatkan sanksi hukum yang berat.  Sementara korbannya akan mendapatkan pemulihan baik secara fisik maupun psikis. Korban akan dipersiapkan secara mental untuk siap menjaga kandungannya bahkan siap merawat anak tersebut.  Tidak akan terbersit dalam pikiran korban perkosaan untuk  mennghancurkan kehidupan calon anaknya.  Keluarga dan masyarakat akan memiliki pandangan yan benar terhadap korban.  Mereka tidak akan mengucilkannya bahkan menganggapnya sebagai pihak yang harus dilindungi.  Mereka akan turut serta memberikan suasana kondusif bagi korban sehingga mampu melewati masa sulitnya tanpa mendapatkan stigma negatif.  Walhasil, Islam tidak hanya menolong dan menjaga hak-hak korban tapi juga mencegah supaya tidak ada korban lain.  Selain itu, hak hidup bayi yang masih dikandung pun terjamin kelangsungannya.
            Dalam naungan negara Khilafah, kasus pemerkosaan bukan peristiwa yang marak terjadi dan aborsi bukanlah solusi hakiki penyelamat korban perkosaan.  Adapun menyelesaikan masalah pemerkosaan hanya dengan menolong korban ternyata tidak akan menyelesaikan masalah.  Ibarat menyembuhkan penyakit hanya dengan mengobati keluhan pasien tanpa memberantas sumber penyakitnya.  Alih-alih  menghilangkan penyakit, yang terjadi justru penyakit semakin kronis dan muncul penyakit baru. 
Walhasil, ternyata permasalahan pemerkosaan ini sangat sistemik dan tidak bisa diselesaikan secara parsial.  Apalagi  menuntaskan masalah korban pemerkosaan dengan aborsi, sungguh ini sebuah solusi yang tidak solutif.   Solusi paripurna dari semua masalah ini adalah dengan kembali kepada  aturan Islam secara kaafah karena Islam secara paripurna  mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan. Dengan aturan Islam, masyarakat yang bersih dan beradab akan dapat diwujudkan.  Untuk itu perlu dukungan sistem dan seluruh elemen umat Islam.













Pemuda Islam : Think About Palestine Not Valentine

Oleh Najmah Jauhariyyah (Pegiat Sosial Media Bengkulu) Manusia adalah makhluk yang mampu berfikir.  Dengan berfikir manusia menjadi makhlu...